oleh
M. Indra Furqon
Widyaiswara Ahli Madya KPK
GRATIFIKASI itu pada dasarnya ialah investasi.
Masyarakat atau vendor yang memberikan hadiah kepada pejabat publik, pegawai negeri atau penyelenggara negara-lah yang melakukan investasi. Dalam memori mereka seolah-olah ada ledger imajiner atau dalam akuntansi seperti ada pencatatan di buku besar, berupa utang-piutang yang tidak nyata.
Setiap hadiah yang mereka berikan kepada pegawai negeri atau pejabat publik, mereka akan mencatat di ledger imajiner sebagai “piutang budi”. Di saat bersamaan, pegawai negeri atau pejabat yang menerima hadiah akan mencatat pada ledger imajiner sebagai “utang budi.”
Masyarakat Indonesia yang terkenal dengan budaya ketimuran selalu berusaha bersikap baik dan selalu berusaha membalas setiap kebaikan yang diberikan orang lain.
Ini sungguh budaya yang luhur dan baik yang berlaku secara umum di masyarakat kita, yang tentunya tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, pangkat dan jabatan, maka budaya ini patut dilestarikan.
Akan tetapi, jika masuk ranah berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban, budaya tersebut patut diduga telah ditunggangi oleh kepentingan—potensial berubah wujud sebagai gratifikasi ilegal.
Bayangkan, jika memiliki piutang budi dan ingin membalas kebaikan kepada si pemberi, maka si penerima bisa terjebak dalam ranah konflik kepentingan, yang bisa mempengaruhi kewenangan yang dimiliki. Maka, tolak gratifikasi! Tolak utang budi!
BACA SERIAL TERKAITDemi harga diri
Terkadang pejabat publik atau pegawai negeri tidak menyadari bahwa gratifikasi berupa uang atau barang yang diterima dari penerima layanan atau vendor, nilainya tidak sebanding dengan kehormatan dan harga dirinya.
Bahkan, mungkin harga dirinya ya senilai barang atau uang yang diterima. Sebesar itulah sesungguhnya harga diri penerima di mata para pemberi gratifikasi. Tentu saja si penerima tidak mungkin secara frontal menanyakan kepada penerima layanan atau vendor apakah benar mereka menghargai kita sebatas hadiah yang mereka berikan.
Kalau ditanyakan pun, maka sejuta penyangkalan akan mereka sampaikan dengan senyuman terindah menghiasi wajah untuk menutupi apa yang mereka rasakan.
Sejujurnya, pemberi yang memberi uang kecil di loket atau nilainya jutaan rupiah, atau berupa hadiah berharga lain, yang ada di pemikiran mereka adalah betapa rendahnya harga diri pejabat atau pegawai tersebut. Mengapa? Karena hanya dengan mengeluarkan sejumlah uang, penerima sudah senang dan urusan pemberi lebih cepat, lancar—atau telah diistimewakan.
BACA JUGA:
Tentunya ketika ada urusan lain, mereka yakin si penerima akan memberikan pelayanan yang jauh lebih baik dan istimewa. Ini berbeda dengan orang lain yang tidak memberi hadiah, yang tidak mendapat tempat di hati penerima
Yang lebih berbahaya dan selama ini mungkin pejabat atau pegawai negeri tidak menyadari atau malah diabaikan adalah harga diri dan kewibawaan di mata pemberi gratifikasi. Wibawa mereka telah jatuh dan berada di bawah alas kaki si pemberi.
Jika bertemu atau berpapasan, niscaya pejabat penerima gratifikasi akan malu dan tak akan berani menatap mata mereka, wajahnya tertunduk, karena jauh di lubuk hatinya merasa berutang budi atas hadiah yang.
Celakanya, si pemberi justru merasa memiliki kuasa atas pejabat atau pegawai negeri karena “kebaikan hati mereka” selama ini, “wajah mereka tegak terangkat”, dan “merasa memiliki banyak piutang budi” atas si penerima.
Tak jarang ketika suatu saat kebutuhan mereka tidak dilayani dengan baik oleh pejabat atau pegawai negeri yang menerima gratifikasi, muncul karakter asli yang selama ini tersembunyi. Mereka lebih galak dan keras melebihi kewenangan atasan di kantor. Ini sudah sering terjadi dan dialami oleh para pegawai negeri atau pejabat publik di pusat maupun di daerah.
Seolah-olah mereka malah lebih nurut dan takut kepada pemberi gratifikasi dibanding kepada atasan di kantor. Tak jarang cacian atau makian dilontarkan kepada penerima gratifikasi jika keinginan si pemberi tidak dipenuhi; tak kenal waktu tak kenal tempat, bahkan meski di depan keluarga penerima gratifikasi. Maka, tolak gratifikasi demi harga diri dan keluarga! []