MENURUT penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, gratifikasi adalah “pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.”
Undang-undang tidak memberikan pengecualian, bahkan sampai ke fasilitas lainnya, yang membuka ruang bentuk gratifikasi tidak terbatas dan tidak terkunci hanya sebatas yang disebutkan diawal kalimat.
Oleh karenanya, dari penjelasan tersebut sangat jelas sekali bisa kita simpulkan bahwa gratifikasi tidak dibatasi oleh barang tertentu, termasuk nilainya, bahkan bisa berupa gorengan, buah, donat, cilok, seblak, kolak, kue cucur, teh botol dan bahkan pulsa meski hanya nominal Rp 5.000, semua tersebut masuk kategori gratifikasi!
Banyak pegawai negeri yang mengemukakan alasan bahwa barang-barang tersebut : “tidak ada harganya”, “cuma buah”, “cuma pulsa”, “tidak bikin mati” dan lain-lain. Namun, semua alasan pembenaran itu bermuara pada salah satu teori terjadinya korupsi berdasarkan Fraud Triangle Theory yaitu rasionalisasi!
Teori yang dikemukakan oleh sosiolog Amerika Serikat Donald R. Cressey sering dijadikan pembahasan dalam pembelajaran antikorupsi.
Dari teori itu, kita memahami ada tiga pokok yang mempengaruhi terjadinya korupsi. Pertama, adanya tekanan. Tekanan ini bisa datang dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal).
BACA SERIAL TERKAIT:
Tekanan yang datang dari dalam bisa berupa kebutuhan, keinginan atau keserakahan. Seorang pegawai negeri dengan gaya hidupnya yang mewah, cenderung pamer, dan berperilaku boros menginginkan fasilitas dan barang-barang mewah yang tidak dapat dipenuhi lewat gaji atau penghasilannya yang sah.
Dari situlah, dia menerima bahkan menuntut hadiah atau pemberian dari masyarakat atau vendor yang menerima pelayanan publik sesuai tugas dan tanggung jawabnya.
Selain itu peran atasan juga bisa menjadi faktor tekanan eksternal. Sering kali atasan yang seharusnya menjadi role model dalam integritas malah memerintahkan bawahannya untuk mencari tambahan penghasilan dari korupsi dan menerima jatah pembagian dari pendapatan haram tersebut.
Dalam beberapa kesempatan, tidak jarang pegawai negeri yang ingin jujur menghadapi dilema antara menerima gratifikasi, tetapi tidak sesuai dengan kata hatinya atau menolak pemberian gratifikasi, tetapi dicap sok suci dan sok bersih oleh atasan ataupun kolega nya yang "kotor".
Kedua, adanya peluang atau kesempatan. Pengaruh jabatan dan kewenangan yang dimiliki oleh pegawai negeri dalam pekerjaannya membuka peluang atau kesempatan untuk menciptakan celah korupsi baik berupa suap, pemerasan, atau gratifikasi.
Buruknya birokrasi pelayanan sering bersanding dengan slogan sindiran: "kalau bisa lama, buat apa dipercepat!", "kalau bisa dipersulit, buat apa dipermudah!”. Dengan dipersulit dan dibuat lama dan bertele-tele membuka ruang bagi mereka untuk menerima suap, gratifikasi dan bahkan melakukan pemerasan dengan dalih kecepatan dan kemudahan dalam pelayanan, yang seharusnya sudah menjadi kewajiban mereka untuk bekerja profesional dengan standar pelayanan prima.
Ketiga, faktor rasionalisasi atau pembenaran, faktor inilah yang merupakan faktor terberat dari sisi penanggulangan dan pencegahannya dan bahkan berat pula dari sisi edukasinya.[]