oleh
M. Indra Furqon
Widyaiswara Ahli Madya KPK
ANDA boleh percaya atau tidak, seorang penyelenggara negara, profesor dari kampus ternama, juga mantan kepala SKK Migas ketika tertangkap tangan oleh KPK dan diwawancara oleh wartawan mengatakan, "Saya tidak korupsi, saya hanya terima gratifikasi".
Jika sekelas tokoh publik berpendidikan tinggi, reputasi, dan jabatan yang mentereng saja tidak paham bahwa gratifikasi adalah salah satu jenis korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sehingga mencari pembenaran gratifikasi dan menolak disebut korupsi, lantas bagaimana dengan pejabat publik lain?
Seseorang yang dilantik menjadi penyelenggara negara, tentunya sudah melalui seleksi ketat oleh panitia seleksi yang berasal dari berbagai bidang kepakaran. Ia seharusnya memahami aturan perundang-undangan perihal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pelaksanaan jabatannya tersebut.
BACA SERIAL TERKAIT:
Oleh karenanya, kita melihat sesuatu yang aneh, ada pejabat publik mengatakan tidak paham, bahkan tidak peduli terhadap tindak pidana korupsi yang harus mereka hindari dalam pelaksanaan tugas dan jabatannya. Seharusnya, seorang pejabat publik menerapkan pencegahan tindan pidana korupsi di lingkup institusi yang menjadi kewenangan dan garis komando strukturalnya.
Apakah ada yang salah dalam proses seleksi? Atau, ini bagian dari rasionalisasi yang merupakan salah satu teori terjadinya korupsi yang membuat seseorang mencari berbagai alasan pembenaran untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku?
Dalam kesempatan berbicara dengan beberapa pegawai negeri dari beragam latar belakang instansi, saya menangkap banyak testimoni terkait dengan gratifikasi. Simpulannya, yaitu grarifikasi yang mereka terima selama ini dalam bentuk baik barang, uang, maupun fasilitas dari vendor atau masyarakat tidak dianggap sebagai korupsi atau tidak memenuhi gratifikasi. Mereka bersikeras penerimaan tersebut tidak merugikan keuangan negara.
Mereka menganggap ini sah-sah saja, toh negara tidak dirugikan dan tidak mengambil dari keuangan negara atau keuangan daerah, sehingga tidak bisa dikatakan korupsi.
Alasan tersebut sering dijadikan pembenaran dan dasar argumentasi mereka dalam menerima gratifikasi. Namun, argumentasi ini sangat lemah seperti sarang laba-laba.
Karena sesungguhnya jika kita pelajari dan pahami dalam Pasal 12B Undang-Undang Tipikor, tidak disyaratkan adanya unsur kerugian keuangan negara. []