oleh
M. Indra Furqon
Widyaiswara Ahli Madya KPK
INDONESIA merupakan negara dengan keanekaragaman budaya dari Sabang hingga Merauke dan telah terkenal di mancanegara. Penduduk Indonesia dikenal dengan karakter ramah, suka menolong dan saling membantu, gotong-royong dan saling bekerja sama.
Tidak mengherankan saat kita datang ke suatu daerah, kita akan disambut dan dijamu oleh tuan rumah dengan baik, diberikan makanan, minuman, dan hadiah buah tangan. Pemberian ini menebarkan kebahagiaan dan mempererat persaudaraan tanpa pamrih, tanpa memandang latar belakang suku, agama, golongan, pangkat, dan jabatan. Inilah budaya ketimuran Indonesia yang wajib dilestarikan dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
Akan terapi, budaya ketimuran ini dijadikan tameng atau dalih bagi sebagian pegawai negeri untuk membenarkan hadiah-hadiah yang diterima dari masyarakat ketika mereka memberikan pelayanan publik.
Padahal, dimensi budaya ketimuran yang tadinya murni tanpa pamrih, tidak mengenal pangkat, golongan maupun jabatan, telah berubah masuk ke dimensi hubungan jabatan dan pemenuhan kewajiban pegawai negeri dalam pelaksanaan tugasnya.
Masyarakat sebagai penerima layanan publik atau vendor memberikan hadiah kepada pegawai negeri, tentunya secara tidak langsung, baik disadari atau tidak, karena kaitan jabatan pegawai negeri tersebut yang telah, sedang, atau akan menjalankan tugasnya melayani kebutuhan masyarakat.
Jika pegawai negeri tersebut tidak dikenal dalam jabatannya, atau pegawai negeri lain di kantor yang sama, tetapi tidak ada kaitan interaksi pelayanan dengan masyarakat atau vendor tadi, maka pemberian hadiah itu tidak akan terjadi.
Jika mau dikatakan sebagai budaya timur, seharusnya hadiah tersebut diberikan ke siapa saja orang yang ditemui, tanpa melihat latar belakang jabatan. Misal, tukang parkir, office boy, tukang fotokopi, tukang seblak dan siapa pun dengan alasan berbagi.
Namun, yang terjadi tidaklah demikian, hadiah justru diberikan khusus kepada pegawai negeri yang dikenali telah, sedang atau akan membantu masyarakat atau vendor dalam proses interaksi pengadaan atau kebutuhan lainnya yang berhubungan dengan pemerintahan.
Hampir setiap tahun, saya membawakan hidangan Lebaran bagi tetangga saya yang beragama Kristen. Sebaliknya, tanpa saya minta, biasanya setiap Desember, datang pula kue-kue atau cokelat dari tetangga saya itu. Hadiah-hadiah ini bukan karena suku, agama, atau profesi jabatan saya atau tetangga saya, itu tradisi dan budaya ketimuran.
Tinggal di sebuah permukiman, tentu seorang pegawai negeri hidup bertetangga dengan berbagai profesi lain. Ada kalanya saling memberi hadiah tanpa persyaratan latar belakang suku, agama, golongan apalagi pangkat dan jabatan. Ini biasa terjadi di momen hari-hari besar keagamaan, atau momen kebahagiaan, atau saling memberikan bantuan sumbangan di peristiwa kedukaaan—inilah budaya ketimuran kita.
Akan tetapi, jika hadiah-hadiah tersebut diberikan khusus kepada pegawai negeri, bukan kepada orang: inilah gratifikasi!
BACA SERIAL TERKAIT
Alasan lain yang sering dipakai pembenaran saat menerima gratifikasi adalah “semua instansi menerima” dan “dianjurkan dalam agama saling memberi hadiah”.
Memang, harus diakui jujur, sebagian instansi pemerintah baik pusat maupun daerah–jika tidak mau dikatakan sebagian besar—bahkan menganggap gratifikasi merupakan hal yang biasa saja. Ini telah biasa sejak rezim orde lama hingga saat ini, sudah biasa dari kondisi belum lahirnya KPK di Indonesia. Pemberian-pemberian tersebut, seperti tip atau tanda terima kasih, uang kopi, uang teh, uang lelah, uang kerahiman, uang sedekah, uang pengertian, uang stempel, uang keringat dan sebagainya dengan berbagai sebutan.
Kebiasaan itu tumbuh subur karena kurangnya pemahaman dan kesadaran dari dua belah pihak, baik pegawai negeri yang menerima atau masyarakat yang memberi. Padahal, tidak ada satupun kebijakan atau aturan tertulis yang mewajibkan atau melazimkan demikian. Yang ada justru larangan bagi pegawai negeri untuk menerima hadiah, bahkan larangan ini sudah ada dari sejak pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Mungkin, kebiasaan itu muncul karena rasa sungkan yang terjadi atas interaksi hubungan pegawai negeri dengan masyarakat, yang didasari atas pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh pegawai negeri; sebetulnya mereka melakukan juga hanya dalam rangka menjalankan kewajiban tugas dan tanggung jawab.
Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK pernah bekerja sama dengan Kementerian Agama menerbitkan buku Gratifikasi dalam Perspektif Agama. Disebutkan dalam buku secara tegas semua agama di Indonesia menyatakan, bahwa gratifikasi tidak dibenarkan dalam ajaran agama.
Suatu ketika dalam suatu kegiatan sosialisasi, saya pernah ditanya oleh salah seorang peserta. Ia masih tetap beranggapan bolehnya menerima hadiah dari masyarakat atau vendor dengan mengutip sebuah hadits hasan yang berbunyi, "Saling berbagi hadiahlah kalian, agar kalian saling mencintai".
Berdasarkan hadits itu, peserta tersebut berdalil bahwa tidak ada larangan dalam agama Islam untuk menerima hadiah, bahkan dianjurkan. Hadits tersebut dihasankan oleh ulama ahli hadits dalam kitab Adabul Mufrad.
Jika dimaknai sekilas dan hanya mengambil dari satu hadits itu saja, memang secara umum agama Islam menganjurkan saling berbagi hadiah antarsesama manusia tanpa ada syarat apa pun.
Akan tetapi dalam Islam suatu dalil tidak bisa berdiri sendiri, harus melihat dalil-dalil lainnya. Dan, ternyata dalil yang disampaikan oleh peserta tersebut adalah dalil umum, sedangkan ada dalil yang secara khusus mengatur terkait larangan penerimaan hadiah bagi seseorang yang diberi amanah oleh kepala negara, dalam hal ini pemerintah, saat melaksanakan tugas negara atau pemerintahan.
Hadits tersebut dikenal luas sebagai hadits pemungut harta zakat. Hadits ini sahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Yang lebih mengkhawatirkan lagi hadits tersebut mengandung ancaman siksa di akhirat, artinya dosa yang ditimbulkan bukan dosa biasa saja.
Lantas, bagaimana dengan mereka yang masih menyangka hadiah-hadiah gratifikasi yang mereka terima itu adalah rejeki, maka sampai akhir hidup, mereka tidakkah akan bertobat? []