Oleh
M. Indra Furqon
Widyaiswara Ahli Madya KPK
MASIH melanjutkan tulisan “Gratifikasi & Teori Rasionalisasi”, saya kali ini sengaja memfokuskan pada faktor rasionalisasi atau pembenaran.
Karena berbicara faktor tekanan dan kesempatan, pelaku korupsi memiliki kemungkinan untuk menyadari dan memahami kesalahannya. Dan, terbuka kesempatan bagi mereka untuk bertaubat dan mengakui kesalahan yang diperbuat.
Namun, ketika bicara rasionalisasi, maka yang ada ialah pembenaran demi pembenaran untuk melegalkan perbuatan. Nalar akan dibuat berbalik-balik seolah-solah perbuatan yang salah akan dibuat samar, lalu menjadi benar, bahkan sesuatu yang haram menurut agama pun bisa menjadi halal dibuatnya.
BACA SERIAL TERKAIT
Sebut saja, seorang pegawai negeri menerima hadiah dengan dalih karena pemberian itu “sekadar sedekah” atau “tanda terima kasih”. Jika pemberian ini ditolak, menurut dia, maka sama saja dengan menolak kebaikan seseorang, membuat tersinggung pemberi hadiah—terlebih baik pemberi dan penerima sama-sama ikhlas tanpa ada unsur paksaan.
Di beberapa daerah, bahkan ada pegawai sampai mengatakan, menolak pemberian itu sama saja menolak rejeki!
Padahal yang dinamakan rejeki adalah sesuatu yang berasal dari sumber dan proses yang halal, bukan dari perbuatan haram dan melanggar undang-undang. Di sinilah, kekeliruan dalam bernalar.
Pembenaran lain yang sering juga dipakai untuk menerima gratifikasi ilegal adalah “hadiah hanya sekelas uang receh, bukan korupsi besar. Jadi, tidak perlu diributkan”.
Kembali cara berlogika diputar balik demi pembenaran, bahwa korupsi hanya jika nilai uangnya bermiliar-miliar. Jika uang receh tidak dikatakan korupsi—ini jelas cacat logika!
Cacat bernalar itu justru yang sering dijadikan bahan bagi mereka yang tidak rela penghasilan tambahan dari gratifikasi diusik. Tak sedikit dari mereka menyerang KPK dengan beropini bahwa KPK hanya mengurusi uang receh dan bukannya mengejar kelas kakap.
Padahal sejatinya yang dianggap receh yang mereka terima ini berbanding lurus dengan pangkat, jabatan, kewenangan, dan kesempatan yang dimiliki.
Bisa jadi saat ini kesempatan berdasarkan kewenangan yang ada masih receh, tapi ketika jabatan naik, kewenangan bertambah, kesempatan pun datang ke level yang lebih dari sekadar receh, karena korupsi sudah mereka biasakan dari sejak receh. Ini bahaya! []