Dari situlah, KPK selayaknya melakukan evaluasi:
- Sudahkah seluruh pegawai negeri di Indonesia menerima sosialisasi pemahaman gratifikasi?
- Sejauh mana upaya KPK dalam melakukan sosialisasi pemahaman gratifikasi ke seluruh pegawai negeri di Indonesia?
- Bagaimana dengan efektifitas sosialisasi yang dilakukan?
- Media apa saja yang patut digunakan untuk mendukung upaya sosialisasi ini?
- Jikapun sudah dilakukan sosialisasi, seberapa paham mereka?
- Adakah pengingkaran atau penolakan?
- Bagaimana strategi KPK dalam mengatasi atau menjawab penolakan mereka?
Penyebab mengapa hanya 13 persen segemen pemerintah yang pernah lapor, selain alasan (1) tidak paham, ternyata setelah melalui kuesioner dan tanya jawab di berbagai kesempatan, pegawai negeri tidak melaporkan penerimaan gratifikasinya ke KPK karena (2): takut.
Mereka takut karena menyangka usai melaporkan gratifikasi, otomatis telah melanggar hukum pidana. Mereka takut terjerat hukum apalagi pemberi gratifikasi juga akan diusut oleh KPK; ini yang menyebabkan hubungan mereka dengan pemberi menjadi renggang.
Padahal ketentuan Pasal 12 C UU Tipikor menyatakan sepanjang pegawai negeri melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK sebelum 30 hari kerja, maka ketentuan dalam Pasal 12 B yang mengatur terkait sanksi pidana menjadi tidak berlaku.
Pemahaman detail seperti itu juga harus disampaikan kepada seluruh pegawai negeri agar mereka dapat gambaran yang utuh terkait gratifikasi.
Selanjutnya, penyebab (3) mengapa hanya sedikit pelapor gratifikasi karena sebagian masyarakat kita, dalam hal ini pegawai negeri, masih menyangka hadiah-hadiah yang mereka terima yang berhubungan dengan jabatan mereka adalah rejeki.
Kalau pemberian itu dianggap rejeki, sehingga pantang mereka tolak dan harus diterima dan disyukuri, ini pemahaman yang keliru dan sesat.
Untuk itu dalam sosialisasi kepada pegawai negeri perlu disinggung pemahaman gratifikasi dari perspektif agama.
Karena semua agama yang diakui di Negara Kesatuan Republik Indonesia sepakat bahwa gratifikasi itu: haram, tercela, terlarang dan tidak boleh diterima oleh pegawai negeri—merujuk buku bertajuk Gratifikasi dalam Perspektif Agama yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama bekerja sama dengan Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK. []