DI DALAM sel tahanan yang pengap, yang hanya satu kipas angin yang berputar, Mas Panji duduk mencangkung.
Menyender pada tembok dingin, matanya kosong menatap lubang segi empat berkaca itu, satu-satunya jendela kecil yang menghubungkan dirinya dengan dunia luar. Seperti lorong, di situlah ia menemukan sisa-sisa kebebasan-kebebasan yang kini hanya tinggal khayal.
Piring stainless sekat tiga berisi bubur, telur, dan buah belum disentuhnya sejak pagi. Waktu terus merangkak mendekati senja, tapi ia tetap di sana, membatu, hanya matanya yang sesekali berkedip lemah.
Ia berdiri, mendekati lubang itu, seakan-akan hendak bercakap dengan angin yang datang dari luar, dengan alam yang dulu begitu akrabinya.
"Janji... saya janji..." tiba-tiba kalimat itu meluncur dari bibirnya, parau. Sebuah janji yang terdengar begitu hampa, bahkan untuk dirinya sendiri.
Sipir penjara datang. Melihat sosok wali kota yang dulu gagah itu kini terpuruk di sudut sel, memeluk lutut dengan wajah lusuh tak terurus. Cambangnya sudah tak dicukur.
Setahun Mas Panji mendekam di balik jeruji penjara, setelah hakim memvonisnya tujuh tahun penjara karena korupsi.
SERIAL CERGAS:
**
Di suatu sore yang sejuk, di sebuah vila megah di dataran tinggi, Tulus, seorang pengusaha senior, memandang serius ke arah Mas Panji. Keduanya duduk di ruang tamu, membahas langkah-langkah penting jelang pemilihan wali kota.
"Mas Panji tenang saja, saya yang akan bereskan," kata Tulus tenang.
Mas Panji yang sedang mencalonkan diri sebagai Wali Kota Badilaga menyadari bahwa perjuangannya belum selesai. Suaranya masih kurang, terutama di dua kecamatan penting yang bisa menentukan hasil akhir.
"Kita masih butuh Rp50 miliar, Pak Tulus. Kecamatan A dan B itu kunci. Kita harus menang di sana," katanya tegas.
Mas Panji tahu betul, tanpa uang segar, tak ada janji yang bisa terealisasi. Pengalaman dua kali pemilihan mengajarkannya bahwa elektabilitas saja tidak cukup.
"Tanpa amunisi, sulit," ujar Dul Panjul, wali kota dua periode sebelumnya, yang selalu terngiang di telinganya. Sosok senior di partai politik yang selalu dijadikan Mas Panji sebagai sumur “ilmu politik praktis”.
**
Ketika kampanye berlangsung, tim sukses Mas Panji sibuk, pontang-panting, membagikan sembako dan uang tunai kepada warga. Mereka masuk-keluar dari kampung ke kampung untuk mempengaruhi warga, membentuk opini publik tentang sosok Mas Panji.
Meski era media sosial, membangun citra dari mulut-mulut dengan bertatap muka masih dianggap mereka sebagai senjata yang paling ampuh membentuk citra dan opini publik.
“Pilih nomor 1, jalanan baru”, “Mas Panji janjikan honor tambahan untuk Pak Lurah”, atau “Jangan khawatir, pilih nomor 1, infrastruktur di kampung-kampung beres”—begitulah suara-suara yang menggema di masyarakat.
Tangan-tangan sebagian warga menyambutnya begitu amplop dan kantong sembako berpindah tangan. Di antara para pesaingnya, Mas Panji memang terkenal paling royal.
BACA JUGA:
Namun, di antara desas-desus propaganda dan sorak-sorai janji politik itu, ada satu suara yang menonjol—suara Kirana, seorang petani muda, salah satu alumnus terbaik Universitas Songgo Langit. Kritis dan tegas.
Dia tidak tertarik pada uang atau sembako yang ditawarkan. Baginya, politik seharusnya lebih dari sekadar sembako dan amplop. Di depan umum, ketika kampanye terbuka di sebuah balai kelurahan, dengan lantang ia bertanya, "Bagaimana Anda bisa meyakinkan kami jika Anda tidak bermain uang, Pak Panji?"
Pertanyaan itu menghentak, menusuk ke ulu hatinya. Mas Panji mengulum senyum meski dadanya berdegup tak menentu. Ia menjawab dengan keyakinan palsu, "Saya pastikan, politik uang tidak ada dalam kamus saya. Saya ingin menang dengan bermartabat."
Suara pendukungnya segera menyambut, meneriakkan nama Mas Panji dengan penuh semangat. Namun, dalam hatinya, Kirana meresponsnya dengan kata: munafik. Ia tahu betul bahwa kenyataan di lapangan tidak seindah yang diucapkan. Setiap harinya, Kirana menyaksikan sendiri bagaimana uang dan janji sembako mengalir deras dari orang-orang yang mengatasnamakan pendukung Mas Panji.
Gerakan anti politik uang mulai muncul. Dipimpin oleh Kirana, mereka menyebutnya "Hajar Serangan Fajar." Senyap pada awalnya, gerakan ini mulai menggema di Kecamatan A. Setidaknya memberikan efek yang cukup baik, sebagian besar warga menyadari bahwa mereka tak bisa dibeli untuk lima tahun sekali. Mereka kini lebih teredukasi bahwa politik bukan soal transaksi suara. Mereka tak ingin termakan janji-janji kosong yang tidak pro-rakyat.
Pada akhirnya, meski gerakan itu kuat, Mas Panji tetap terpilih. Tapi, seperti roda nasib yang terus berputar, pada tahun ketiganya menjabat, bau busuk korupsi mulai tercium. Penyelidikan pun berjalan, dan akhirnya ia tersangkut kasus suap auditor. Hukum akhirnya bicara, menutup jalan karier politiknya dengan vonis tujuh tahun penjara.
SERIAL CERGAS:
**
Sipir penjara kembali datang.
"Pak Wali Kota Mas Panji," panggilnya dengan nada formal.
"Saya wali kota..." gumam Mas Panji. Seolah-olah status itu masih melekat pada dirinya.
Makanan di depannya hanya dipandang sekilas sebelum ia mengalihkan tatapannya ke lubang angin itu lagi. Di baliknya, ada dunia yang dulu ia kuasai, tapi kini hanya menjadi bayangan samar. "Kapan aku keluar?" bisiknya pada diri sendiri, khayalan dan mimpi yang terus muncul di benaknya saban hari. []
***
Apa yang bisa #KawanAksi pelajari dari CERGAS (Cerita Berintegritas) di atas? Cerita di atas mengajarkan kita untuk menjadi pemimpin dan politisi berintegritas. Ketika mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah atau nasional, seharusnya memedulikan dan memperhatikan rambu-rambu agar tidak melanggar aturan atau perbuatan tercela.
Apa yang diharapkan dari cara tidak jujur dan menyuap warga ketika pemilihan? Perbuatan tersebut justru bakal menimbulkan keburukan, bahkan tulah bagi dirinya sendiri juga masyarakat.
Dalam aturan kampanye pilkada/pemilu jelas dilarang melakukan politik uang. Di sisi lain, warga juga harus mulai sadar dan tegas untuk menolak segala bentuk politik uang atau biasa disebut dengan “serangan fajar”.
Menolak amplop atau sembako adalah cara kita membudayakan politik beradab, sekaligus mengingatkan kepada partai politik dan politikus, bahwa tujuan menjadi pemimpin adalah menyejahterakan masyarakat, bukan menyuap rakyat demi tujuan kepentingan pribadi.
Kita harus membiasakan yang benar. Kita harus terus tanpa henti mengampanyekan budaya berintegritas di mana pun berada. Kita harus sadar dan menyebarkan pesan-pesan ini ke keluarga, bahwa penting mengingatkan agar menolak segala bentuk “serangan fajar”—sebab dimulai dari “serangan fajar” itu bibit-bibit korupsi jusru sedang dibangun, maka harus dirobohkan sejak dini.
Hidup akan lebih tenang dengan kebiasaan yang benar, bukan kebiasaan menyimpang. Yuk, berantas korupsi sejak dini!