PAGI-pagi sudah terjadi keributan di Kantor Urusan Agama Kecamatan M. Pangkal masalahnya ialah sepucuk amplop cokelat. Seharusnya amplop itu sudah berada di meja Pak Panji, kepala KUA juga penghulu nikah di daerah itu.
Namun, hanya Kirana, stafnya yang pertama tiba di kantor. Ia kaget, melongo saja ketika atasannya itu ngomel-ngomel: mengapa tidak ada amplop cokelat yang seperti biasa dia terima di meja kerjanya. Ia berkali-kali mengeluarkan sumpah serapah kepada Kirana.
Sampai-sampai petugas kebersihan yang sedari tadi masih sibuk menyapu dedaunan di halaman kantor, ia lari terbirit-birit melongok di daun pintu. Ia tak berani masuk, hanya menguping saja.
“Saya sudah bilang, taruh amplop cokelat di meja!”
“Maaf Pak, hari ini Pak Derajat cuti. Biasanya dia yang mengurus urusan bapak kemarin,” ujar Kirana memberanikan diri.
Pak Panji memang baru ingat kemarin ia sendiri yang meneken izin cuti Derajat. Derajat adalah asisten Pak Panji yang selalu mengurusi pernikahan baik di KUA atau di luar kantor. Dia pula yang mengelola amplop-amplop cokelat yang biasa diterima dari keluarga pengantin.
Orang-orang di Kota M sudah tahu adat dari KUA. Amplop cokelat itu adalah bingkisan khusus untuk Pak Penghulu sebagai tanda terima kasih. Padahal menikah di KUA itu gratis seperti aturan dari Kementerian Agama. Tetap saja, Pak Panji itu memang begitu adatnya. Ia seperti buta terhadap aturan itu.
Suatu kali, ada calon pengantin yang menikah di KUA. Setelah selesai akad nikah, Derajat menemui pasangan itu di tempat parkir. Derajat sampai lari-lari kecil di tengah siang yang terik itu.
“Ada apa Pak Derajat, kok sepertinya ada yang penting banget?” tanya Tulus, pengantin pria.
“Begini, Mas Tulus. Seperti biasa, nanti sore tolong ke sini lagi bawa amplop cokelat, ya...”
“Buat apa ya pak?” Tini, pengantin perempuan, ikut menyela.
“Sudah seperti biasa, adat di sini, mbak...”
“Maksudnya, adat yang bagaimana ya. Kok saya belum paham,” kata Tini.
“Ah, masak enggak paham sih, bingkisan buat bapak, begitu...”
“Oalaaah....” Tulus dan Tini menjawab berbarengan.
Mereka akhirnya menjelaskan dengan tenang tanpa emosi. Keputusan menikah di KUA karena pertimbangannya tak ada biaya yang dikeluarkan, berbeda bila harus mengundang penghulu ke rumah. Mereka bilang ingin menikah dengan sederhana dan sah.
“Apakah prinsip sederhana seperti itu keliru, Pak Derajat?” ujar Tulus.
Derajat paham soal itu. Sepuluh tahun di KUA, ia ngelotok di luar kepala tentang aturan pernikahan. Tapi, ini perkara lain, batinnya. Mendapat pertanyaan itu, ia menjadi salah tingkah. Mukanya memerah, menahan malu. Lalu, dia dengan pelan menjawab, “Diusahakan ya, Mas...” katanya.
“Ya sudah, besok biar saya saja yang bertemu dengan Pak Panji,” kata Tulus.
Mendengar jawaban itu, Derajat bingung. Karena masalah ini pulalah, ia mengajukan cuti esok hari dengan alasan ada keperluan mendadak.
Menjelang siang, setelah drama keributan di pagi itu, datanglah Tulus dan Tini ke KUA. Diterima oleh Kirana, mereka bermaksud bertemu dengan Pak Panji. Kirana menjelaskan bahwa atasannya itu sedang tidak di tempat. Tapi, Tulus melihat mobil Pak Panji terparkir di depan kantor. Setelah memaksa, akhirnya Tulus dan Tini bisa bertemu dengan Pak Panji.
“Silakan, silakan...Mas Tulus dan Mbak Tini. Ada apa nih, semua urusan sudah beres, kan ya?
“Oh sudah pak,”
“Lantas ada apa lagi?”
“Begini, kemarin selesai akad Pak Derajat menanyakan amplop cokelat...”
Pak Panji terhenyak. Ia seperti tersudut dengan pertanyaan itu. Ia mencoba menutupi diri dan membantah tentang permintaan itu. “Oh, ndak, ndak ada itu, mas...kan menikah di sini, gratis...” jelas Pak Panji.
“Oh ya syukurlah, kalau begitu pak. Kami izin pamit...” tutur Tulus.
Tapi, tiba-tiba Pak Panji mencoba menahan mereka. “Hmm...sebentar Mas Tulus. Duduk dulu sebentar...”
“Saya mau jelasin sebentar soal itu. Memang kemarin saya yang suruh Pak Derajat untuk menanyakan itu. Tapi, tolong rahasiakan ini ya. Mas Tulus tidak saya mintai kok...”
“Maksudnya?”
“Ya, Mas Tulus tolong merahasiakan permintaan kemarin itu. Tolong ya...” pinta Pak Panji.
“Memangnya ini sudah biasa dilakukan ya, Pak? Tini bertanya.
Pak Panji terdiam. Tak bisa menjawab. Ia dibuat kikuk.
“Tolong pak, bisa jelaskan kepada kami...”
Ia masih bimbang ingin menjelaskan dan akhirnya memilih mengangguk saja.
“Astaghfirullah...” ujar Tulus, “Bukankah bapak sudah mendapatkan gaji dan honor bila menikahkan di luar KUA.”
“Toh, aturan gratis ini kan pemerintah yang buat sendiri. Bapak kok tega berbuat seperti itu, sih...”
“Maaf Mas...saya khilaf.”
“Kalau khilaf, kok berkali-kali diulang. Itu namanya ketagihan dong, Pak,” sahut Tini.
Kali ini Pak Panji benar-benar tak berkutik. Mulutnya bungkam seribu bahasa. Ia tak bisa berkutik. Skak mat.
“Saya akan tetap laporkan hal ini ke kantor Kementerian Agama. Biar tidak lagi terjadi begini lagi ke depan. Bapak harusnya sudah paham sebagai pegawai negeri.”
“Mari kita biasakan, buat adat yang benar, bukan membenarkan yang sudah biasa, Pak...”
Kirana yang sedari tadi menguping di balik pintu bersama staf lain merasa lega. Mereka kompak mengayunkan kepalan tangannya dan berujar “Yes”. “Sssstt...jangan keras-keras...” ujar Kirana mengode teman-temannya. []
***
Apa yang bisa #KawanAksi pelajari dari CERGAS (Cerita Berintegritas) di atas? Cerita di atas mengajarkan kita bahwa petugas KUA yang notebene adalah pegawai negeri dilarang menerima hadiah atau pemberian apa pun saat bertugas mencatat pernikahan atau menjadi penghulu nikah.
Dalam
aturan Kementerian Agama, tidak ada biaya dibebankan kepada calon pengantin yang menikah di KUA. Sebaliknya, bila menikah di luar KUA, maka calon pengantin saat mendaftarkan diri harus membayar biaya sebesar Rp600 ribu. Penghulu nikah atau petugas KUA sudah mendapatkan gaji atau uang transportasi dari kantornya. Jadi, tidak perlu bagi keluarga pengantin memberikan uang atau bingkisan.
Kita harus membiasakan yang benar. Kita harus terus tanpa henti mengampanyekan budaya berintegritas di mana pun berada. Kita harus sadar dan menyebarkan pesan-pesan ini ke keluarga, bahwa penting mengingatkan pegawai negeri untuk tidak menerima gratifikasi—dari kebiasaan seperti inilah bibit-bibit pungli dan korupsi terjadi.
Hidup akan lebih tenang dengan kebiasaan yang benar, bukan kebiasaan menyimpang. Yuk, berantas korupsi sejak dini!