LEBARAN tinggal menghitung hari. Gelombang mudik orang-orang dari kota ke desa menjadi aktivitas rutin saban tahun. Banyak cara orang-orang mengekspresikan diri untuk mudik, dari hal sederhana hingga perilaku bermewah-mewahan, bahkan melebihi dari kemampuan.
Yuk, kita ikuti serial Cerita Integritas (Cergas) Lebaran berikut ini:
**
INI sahur terakhir Panji di Jakarta. Esok ia sudah dalam perjalanan pulang kampung, ikut gelombang mudik Lebaran, setelah dua tahun tidak balik ke asal. Setelah bergelut dalam ribetnya war ticket yang mengesalkan, akhirnya ia mendapatkan satu tempat duduk.
“Ibu, anakmu pulang, Lebaran besok...” begitu pesan yang ia kirimkan ke akun WhatsApp ibunya tiga minggu lalu.
Bekerja di Jakarta, Panji sudah dipandang sebagai “orang”. Tetangga-tetangga di kampungnya sudah menjulukinya “bos”. Keponakan-keponakan bahkan anak tetangga suka tanpa tedeng aling-aling minta angpao. Panji suka-suka saja dengan itu, ia bagikan uangnya satu per satu. Itu tiga tahun lalu.
Dua kali lebaran terakhir, ia terpaksa tidak pulang. Pandemi Covid-19 memaksa ia masuk dalam kotak PHK besar-besaran. Ia pontang-panting mencari kerja sampai akhirnya ia mulai menjadi marketing di sebuah pusat kebugaran (fitness club).
Panji bersyukur, profesi marketing menyelamatkan dirinya dari jurang utang pinjol. Banyak kawannya dulu pasca-PHK harus utang pinjol demi kehidupan sehari-hari, karena gaya hidup yang mengikuti orang-orang kota.
Panji teringat pesan ibunya sewaktu dulu mau pergi merantau: “Simpan baik-baik gaji yang kau dapat. Ibumu tak selalu minta, kau ada kirimi, pas tidak ada ya tidak usah memaksa diri. Ibu masih ada kecil-kecilan untuk hidup dan biaya sekolah dua adikmu. Sehabis gajian, jangan kau habiskan buat yang aneh-aneh,” kata ibunya.
Pesan itu diingat betul Panji. Maka, ketika pandemi, ia masih memiliki tabungan yang cukup bertahan sampai mendapatkan pekerjaan baru. Ibunya juga masih ia kirimi bulanan.
Hidup apa adanya itu lebih menyenangkan. Gambaran ini ia lihat di keluarga besarnya. Bapaknya yang sudah 10 tahun meninggal mengajarkan di keluarganya perilaku untuk menghargai jerih payah. Keluarga kecil itu selalu punya cara untuk menyiasati hidup dari tekanan-tekanan yang ada. Bapaknya, hanyalah tukang bengkel panggilan, biasa mengerjakan mesin-mesing penggilingan padi, dipandangnya sebagai role model hidup seorang lelaki: gagah, berani, jujur, tanggung jawab, dan sederhana.
“Satu pesan bapak, jadilah lelaki yang jujur dan tetap sederhana. Kelak kau akan tahu begitu bermaknanya itu bagimu,” kata bapaknya sehari sebelum meninggal ketika Panji menungguinya di pembaringan rumah sakit.
Bus melaju ke arah Merak. Pelabuhan sudah begitu penuh manusia dan kendaraan. Melihat orang-orang membawa motor buat mudik, ia jadi kepengin. Tapi, bawa motor pun jadi tambah beban saja, baliknya nanti bisa serba repot. Butuh 32 jam perjalanan bus menuju Singkarak.
Dibawanya tas ransel ukuran 10 liter. Dua kardus berisi oleh-oleh untuk keluarganya. Tak banyak barang memang. Lebaran ini ia niatkan untuk pulang, bisa bersimpuh di pangkuan ibunya dan pelukan adik-adiknya. Kalau pun ada rejeki berlebih, ia seperti biasa bagikan kepada keponakan-keponakannya dan anak tetangga. Anak dipangku, kamanakan dibimbiangi, begitulah budaya masyarakat di Singkarak.
Ia bersyukur akhirnya mendapatkan THR lagi. Ia sudah niatkan sebagian uangnya untuk ibu dan keluarga, sebagian lagi untuk lainnya. Tak ada barang-barang baru yang ia beli untuk dipertontonkan selama di kampung. Paling baju baru buat salat Ied.
Ia tak ingin menipu diri sendiri dengan pamer sebagai orang kota, sebagai orang Jakarta. Ia bisa saja bergaya orang kota saat Lebaran ini, seperti beberapa teman di kantornya yang terpaksa utang pinjol. Mereka pada beli gawai baru, motor baru—pokoknya ada banyak barang yang dibawa pulang untuk pamer di kampung. Tapi, Panji belajar dari kejadian teman-temannya yang dulu terkena PHK akhirnya memilih utang pinjol, mereka dikejar-kejar debt collector, sampai-sampai kerja pun tak bisa. Alhasil, bukan untung yang didapat, buntung yang dialami.
Ia sudah membaui ikan pangek sausau buatan ibunya, juga gurihnya ikan bilih yang dulu ia suka goreng bersama teman-teman masa kecilnya. Semua itu membuat rindu kampung. Kangen semilir sejuknya danau dengan hamparan hijau yang begitu asri.
Ia sudah berangan-angan sesampainya di Singkarak. Begitu sampai rumah nanti, ia ingin ajak dua adiknya berkeliling danau, ia ingin mengabadikan momen-momen indah meski dengan HP China.
Terik memanggang kapal yang ditumpanginya. Ia melemparkan mata sejauh garis pantai. Biru, semuanya membiru. Tak dirasanya, bulir-bulir air matanya meleleh. Ia menutup mukanya, sesunggukan di buritan. Ia ingin berteriak. Sesak dadanya, bahagianya ingin bertemu ibunya. “Rindu ini bakal kulunasi...” []
**
Dari cerita “Rindu Ini Kulunasi”, pelajaran apa yang bisa dipetik #KawanAksi?
Pesan dari cerita di atas ialah hidup sederhana tidak melebihi kemampuan. Bersyukur dengan rezeki yang diterimanya. Kita tidak perlu hidup bermewah-mewahan untuk mendapatkan pengakuan, penghormatan atau dianggap sebagai orang kaya dari orang lain.
Yuk, sebarkan benih-benih nilai integritas dan perilaku antikorupsi “Jumat Bersepeda KK” (jujur, mandiri, tanggung jawab, berani,sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras).