Sang suami mengatakan akan menggunakan jalur belakang agar anaknya bisa diterima di sekolah favorit. Alasannya simpel, beberapa kenalannya juga melakukan jalur itu di sekolah yang sama dengan si sulung. Di mata suami, hal seperti itu sudah menjadi normal sekarang.
“Persoalannya enggak sesimpel itu, Yah!” sahut Ibu Panji.
“Lalu, apa kamu mau marah-marah di depan kepala sekolah. Hanya karena anak kita enggak diterima?” balas sang suami.
“Besok aku ke sekolah, ibu tak perlu datang. Biar urusan ini cepat kelar juga. Masih banyak urusan kita yang harus diurusi.”
Ibu Panji tiba-tiba menyela dengan raut muka kesal. Sorot matanya berubah. Matanya dipicingkan, dahinya mengerut. Ia tampak begitu kaget dengan omongan itu.
“Untuk urusan begini, kenapa ayah begitu cepat?” kata Ibu Panji.
“Kok jadi marah-marah. Masalah begini, bukan masalah besar. Semua bisa diatur dengan uang. Zaman kini serba duit, Bu!” ujar suaminya.
“Ayah....!!! Apa aku tidak salah dengar? Istighfar...”
“Sudahlah, Bu. Aku ingin Panji bisa diterima di sekolah itu. Titik!”
“Apakah dengan suap itu membuat anak kita menjadi senang diterima di sekolah favorit ayah? Padahal, ia tahu rasanya sulit bisa diterima di sekolah itu.”
“Dia tidak akan tahu. Kan kita tidak memberitahunya.”
“Tapi, cara-cara seperti itu tidak bisa kuterima,” sahut Ibu Panji.
“Apa salahnya, toh, semua orang yang kukenal melakukannya.”
“Apa hanya orang lain melakukan, lalu kita harus mengikutinya? Tidak semua yang biasa dilakukan itu adalah benar. Kita harus terbiasa dengan sesuatu yang benar, bukan sebaliknya, membenarkan yang biasa.”
Sang suami diam. Ia bingung bagaimana membalas argumen Ibu Panji.
“Aku diajari oleh ayah tentang kejujuran, hal sama aku tularkan ke anak-anak kita. Apa salahnya sekolah di tempat lain. Aku pernah merasakan yang sama. Ayah dulu menolak permintaanku ke sekolah impianku. Aku sedih, tapi aku terima dan itu aku sadari kebenaran omongan ayah kelak ketika besar.”
“Apa manfaatnya jika anak kita bersekolah di situ dengan jalur-jalur yang tidak jujur? Bukankah menuntut ilmu harus dilambari dari hal-hal yang baik? Salah niat, alih-alih kebaikan yang bakal kita panen, celaka yang justru kita tuai. Dan, aku enggak mau Panji merasakannya dan kecewa di kelak hari.”
“Sebagai istri, aku rela tidak bekerja karena demi anak-anak. Di rumah aku membesarkan mereka, karena aku ingin merekalah juga menyebarkan benih-benih kebaikan di keluarganya kelak. Siapa tahu ada anak kita menjadi pemimpin yang membawa perubahan yang lebih baik.”
“Kita tanamkan budaya jujur, tanggung jawab, dan tidak curang dari kecil, karena itulah yang bisa kita bangun. Aku tahu kita sekarang mampu, tapi aku enggak mau hanya karena cara-cara kotor ini, masa depan anak-anak kita justru terperosok. Siapa yang menjamin?”
Mendengar kata-kata istrinya, Ayah Panji terduduk lemas di pinggir kasur. Ia memikirkan kata-kata istrinya itu. Gambaran kekhawatiran masa depan anaknya. Ada benarnya kata-kata itu: siapa yang menjamin anaknya sukses jika dimulai dari hal-hal yang curang?
Melihat suaminya lemas, dengan muka tertekuk, Ibu Panji menghentikan omongannya. Ia juga ikut duduk. Keduanya sama-sama terdiam.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka pelan. Keduanya mengarahkan pandang ke titik yang sama. Terlihat Panji dengan wajah ketakutan berada di ambang pintu.
Ia telah mendengar semua omongan kedua orangtuanya itu. Ia menangis. Lalu, berlari memeluk ibunya.
“Ibu....” ia berkata lirih, “Panji rela sekolah di tempat lain.”
Kedua orangtuanya saling berpandangan. “Ada apa Panji,” ibu bertanya.
“Panji mendengar obrolan ayah dan ibu? Ayah menyela.
Ia mengangguk.
“Panji bakal merasa tak nyaman jika harus diterima di sana dengan cara curang, barangkali ada calon siswa lain yang lebih pantas mendapatkannya,” Panji membuka suara sambil memeluk ibunya.
Sang ayah memegang pundak anaknya itu, tak terasa mengalir air telah membuat garis di pipinya. Ia mengucap maaf kepada anak dan istrinya. Ia sadar bahwa itu adalah suatu kesalahan.
“Ayah, ibu...semua yang diajarkan ke Panji selama ini akan Panji pegang meski sulit menjalaninya. Bukankah ilmu itu semua bersumber dari hati, kata Kakek, begitu kan, Bu?” kata Panji.
Tangis sang ibu pecah. Ia seperti ditohok dadanya. Pesan itu memang begitu membekas di hatinya. Ketiganya saling berpandangan dan berpelukan.[]
**
Apa yang bisa #KawanAksi pelajari dari CERGAS (Cerita Berintegritas) di atas? Cerita ini terinsipirasi dari fenomena-fenomena suap yang hampir selalu terjadi tiap tahun saat penerimaan siswa/mahasiswa baru. Suap adalah tindakan curang dan jelas-jelas tidak dibenarkan secara aturan, bahkan ajaran agama.
Orang-orang yang menyuap dan menerima suap sama-sama telah bertindak korupsi. Jika fenomena ini masih terus terjadi dan menjadi maklum adanya di masyarakat, artinya masyarakat kita masih permisif terhadap praktik korupsi. Kita harus terus tanpa henti mengampanyekan budaya antikorupsi di mana pun berada.
Kita harus sadar dan menyebarkan pesan-pesan ini ke keluarga, bahwa jauhi dan tolak suap-menyuap. Hidup akan lebih tenang dengan kebiasaan yang benar, bukan kebiasaan curang.
Yuk, berantas korupsi sejak dini!