DI BERANDA rumah gaya 80-an, seorang perempuan usia 30-an duduk di bangku malas, sembari bermain Android. Menikmati sore dengan rintik hujan, ia mengakses aplikasi musik. Diputarnya lagu-lagu mellow indie kesukaannya.
Tiba-tiba, seorang anak kecil muncul di balik pintu, lalu melendot di samping perempuan itu. “Bunda, kenapa kita harus minta izin sebelum minjam barang?” katanya.
“Kenapa tiba-tiba Kirana bertanya tentang itu? tanya ibunya.
Dimatikan lagu. Ditutupnya Android, lalu dipangkunya Kirana yang masih duduk di kelas lima itu. Sang ibu kemudian berceritalah
**
Hiduplah Kakek Tulus di sebuah kampung di kaki gunung. Ia punya kebun dan ternak. Hidup bahagia meski seorang diri.
Di kampung, dengan tetangga yang baik, ia anggap mereka sudah seperti saudara sendiri. Maka, ia berbaik hati bila tetangganya meminjam peralatan-peralatan kebunnya.
Tiap hari ia rutin melakukan aktivitas yang tersusun rapi sesuai waktunya. Mula-mula ia sudah terjaga 30 menit sebelum azan subuh. Sampai terbit Mentari, ia biasa menyeduh kopi dan membaca. Ia suka baca apa pun, tentu di umur senja, ia lebih banyak mendekatkan diri kepada Tuhan.
Ia awali hari dengan doa, lalu berangkatlah ia menuju tempat kerjanya di belakang rumah, kebun sayur dan ternak dombanya.
Diambillah, segala peralatan di tempat khusus. Di tempat itu pula ia selalu mengembalikan barang-barang yang dipakai sehabis bekerja.
Suatu kali, di Sabtu pagi, Kakek Tulus kaget bukan kepalang. Ia tak melihat sabit berada di cantolan dinding bambu. Padahal, ia sudah pasti menaruhnya di sana kemarin siang. Ia mencari-cari sabit itu ke dalam rumah, tak ditemukannya. Ia cari di kandang domba, di kebun, di teras, di dapur—semua hasilnya sama, tak ditemukan sama sekali sabit favoritnya.
Ia sudah terengah-engah. Ia berlari keluar pagar, menanyai tetangga kanan-kirinya, barangkali ada yang meminjam sabitnya. Tapi, tetangga yang ditemui tidak melihatnya.
Sambil menggerutu, ia kembali ke rumah. Ia jengkel dan marah. Seharusnya hari ini ia pergi mencari pakan ternak. Tapi, sabitnya raib.
Dadanya berdegup keras. Ia memegang kepalanya yang mulai terasa pening. Penglihatannya tiba-tiba samar. Kakek Tulus tersungkur pingsan.
Untung, datang tetangganya, Panji, yang tadinya mau meminjam cangkul. Melihat Kakek Tulus pingsan, ia memanggil tetangga lain. Dibawalah Kakek Tulus ke puskesmas. Dirawatlah ia sementara.
Ketika kondisi nyaman, bertanyalah dokter kepada Kakek Tulus.
“Apa yang terjadi, Kek, kok sampai pingsan?”
“Aku merasa jengkel dan kesal, sabitku hilang. Padahal domba-dombaku harus diberi makan,” katanya.
“Oh, jadi kakek marah karena ada orang yang mengambil sabit, ya? Mungkin ada yang meminjamnya, Kek.” kata dokter.
Kakek Tulus menjelaskan bahwa hari kemarin tidak ada yang datang ke rumahnya untuk izin meminjam sabit. Maka, ia sungguh kaget, mengapa sabitnya hilang. Padahal selama ini ia tak masalah buat siapa saja mau pinjam, asalkan bilang dulu sama dirinya.
Pada sore hari, ketika Kakek Tulus duduk di ruang tamu, sambil berselimut kain hangat, ada seseorang yang mengetuk pintu.
“Sore, Kek!” kata Budi, seorang penggembala kerbau. Ia memang dekat dengan Kakek Tulus. Seringkali ia diminta mengurus domba-domba Kakek Tulus. Itu dilakukannya jika Kakek Tulus sedang sakit.
Melihat Budi, ia menyuruhnya masuk. Kakek Tulus terkejut, kenapa sabitnya ada di tangan Budi.
“Kok, sabitku ada di kamu, kapan kamu pinjam?” seloroh Kakek Tulus sambil berdiri mendekati Budi.
“Tadi saya pinjam untuk cari rumput kerbau Pak Lurah, kebetulan sabit saya patah, lalu pas lewat sini tadi pagi, saya ambil sabit ini, tapi pasti saya kembalikan, begitu, Kek!” kata Budi.
“Budi, kamu dekat denganku. Tapi, tahukah apa yang kamu lakukan ini?!”
“Ada apa ya, Kek. Kenapa kakek seperti marah kepadaku?”
“Bagaimana tidak kesal dan jengkel, Budi. Aku berselimut begini, karena sabitku raib. Pagi tadi aku dibawa ke puskesmas karena panik, lalu pingsan tidak menemukan sabitku. Padahal, domba-domba itu harus makan. Ternyata kamu yang mengambilnya.”
“Maaf, Kek. Aku tidak tahu...”
“Kenapa kamu tidak bilang dulu, izin dulu. Apa susahnya?”
“Kakek, saya buru-buru tadi. Lantas, kenapa harus izin dulu sebelum meminjam, toh, memang nanti aku kembalikan. Kan, kita sudah saling kenal.”
“Kamu keliru. Untung aku tidak serangan jantung yang bisa membuatku mati. Bagaimana kalau sampai mati?” ujar Kakek Tulus sambil bersandar di pintu.
Budi yang mendengar kata-kata itu, terasa lemas. Ia duduk di lantai bersandar dinding rumah. Ia baru sadar begitu kelirunya dia, padahal dikiranya ini sebuah hal yang biasa, yang tak bakal berdampak apa-apa. Setahunya, sebuah sabit bisa membuat seseorang sakit. Ia menyadari kesalahan itu dan meminta maaf kepada Kakek Tulus.
Sambil sesenggukan, Budi meminta maaf kepada Kakek Tulus. Ia memeluk kaki pria tua itu sambil menangis. “Maafin Budi, Kek..maafin....”
Kakek Tulus masih berdiri, memandang senja yang hampir habis di cakrawala, sambil tangannya mengusap-usap kepala Budi.
“Ini pelajaran, Budi...kita tidak pernah tahu kondisi orang per orang. Jangan kau ulangi lagi kesalahanmu ini.”
**
Azan Magrib berkumandang. Kirana yang mendengar kisah itu, mukanya penuh tanda tanya. “Kirana salah ya, Bunda, tadi Rudi marah pas Kirana pinjam pensilnya tanpa izin.”
Perempuan itu tersenyum dan mengangguk. “Kirana,” kata ibunya pelan sambil mengusap rambut kriwil anaknya, “Tidak setiap orang itu rela barangnya dipinjam tanpa izin. Bisa saja, barang itu sedang dibutuhkan pemiliknya.”
“Sekarang Kirana marah tidak, kalau tas pink di kamar tiba-tiba dibawa adik ke PAUD,” tanya ibunya.
“Enggak dong...” Kirana menggelengkan kepalanya pelan.
“Sekarang Kirana sudah paham, kan?
Kirana manggut-manggut. Rembang petang telah menjadi gelap. Hujan telah reda.[]
***
Apa yang bisa #KawanAksi pelajari dari CERGAS (Cerita Berintegritas) di atas? Cerita di atas mengajarkan kita bahwa sebelum meminjam sesuatu kepada saudara, teman, atau orang lain haruslah meminta izin terlebih dulu. Meminjam barang tanpa izin termasuk dalam perilaku koruptif. Bila praktik ini menjadi kebiasaan, tentu sangat tidak baik.
Bibit-bibit koruptif seperti itu bisa mempengaruhi seseorang jika dirinya dalam posisi sebagai pemegang kekuasaan atau kewenangan. Ia mudah akan menyalahgunakan kewenangannya untuk melakukan perbuatan koruptif.
Kita harus terus tanpa henti mengampanyekan budaya antikorupsi di mana pun berada. Kita harus sadar dan menyebarkan pesan-pesan ini ke keluarga, bahwa penting meminta izin sebelum meminjam barang milik orang lain.
Hidup akan lebih tenang dengan kebiasaan yang benar, bukan kebiasaan curang. Yuk, berantas korupsi sejak dini!