SIANG itu, Desa Rembulan diselimuti terik yang menggigit kulit. Di depan balai desa, beberapa karung beras, minyak goreng, dan paket sembako lain tertata rapi, siap dibagikan.
Spanduk besar yang bertuliskan "Bantuan Sosial Terdampak Pandemi" melambai-lambai diterpa angin. Warga telah datang sejak pagi, sebagian datang dengan rasa harap, sebagian lagi datang dengan tatapan hampa, seolah-olah mereka sudah tahu apa yang akan terjadi.
Tulus, kepala desa yang sudah menjabat selama dua periode, berdiri di teras balai desa. Tubuh kurusnya menyimpan ketegangan. Di sampingnya berdiri Ketua RT Arif dan Ketua RW Usman. Mereka bertiga tampak akrab, sering terlihat saling berbisik dan tertawa kecil di antara suara warga yang mulai memenuhi lapangan desa.
Di antara kerumunan itu, tampak Kirana, seorang ibu muda berwajah lelah dan rambutnya yang digelung seadanya. Di tangannya, ia menggenggam surat pengajuan bantuan yang sudah ia ajukan sejak lama. Hari itu ia berharap menerima bantuan.
Warga mulai duduk di kursi-kursi plastik yang disiapkan. Suasana di sana bercampur antara optimisme dan ketidakpercayaan. Sebagian warga tahu bahwa pembagian bansos ini lebih sering tidak adil.
Ada bisik-bisik di antara mereka, terutama saat melihat daftar nama penerima yang sudah ditempel di papan pengumuman. Beberapa nama yang tertera bukanlah orang-orang yang mereka kenal sebagai warga miskin.
"Kita mulai pembagian sekarang," kata Kades Tulus, suaranya terdengar lantang. "Saya harap semua sudah sesuai dengan prosedur. Mohon tertib dan sabar." Senyum lebar menghiasi wajahnya, seakan-akan semua yang ada di depan mata berjalan dengan sempurna.
Satu per satu nama dipanggil. Yang pertama maju adalah keponakan Ketua RT Usman, seorang pria muda dengan pakaian necis.
Warga berbisik pelan, saling menatap heran. "Bukannya dia baru buka toko di kecamatan?" tanya seorang ibu tua kepada tetangganya. Namun, mereka tak berani bersuara lebih keras.
Nama Kirana tak kunjung dipanggil. Ia mulai cemas. Keringat dingin membasahi pelipisnya. “Apa mungkin ada kesalahan?” pikirnya.
Tangannya mulai gemetar, menguatkan genggaman pada surat yang dibawanya. Kirana, yang hidup pas-pasan dan harus mengurus dua anaknya seorang diri sejak suaminya kehilangan pekerjaan, sangat berharap pada bantuan ini.
"Kirana, kenapa nama kamu belum dipanggil?" tanya seorang tetangga yang duduk di sebelahnya. Kirana hanya menggeleng, tak tahu harus menjawab apa.
Saat giliran Ketua RT Arif memanggil nama berikutnya, terdengar nama yang membuat warga langsung terkejut. "Kirana, silakan maju," panggilnya.
Namun, Kirana yang dimaksud ternyata bukan ibu muda itu, melainkan istri sepupu dari Ketua RT Arif sendiri, yang dikenal hidup lebih mapan dibanding Kirana.
Kirana hanya bisa memandang dengan mulut ternganga, tak percaya. "Itu bukan saya," bisiknya pelan, suaranya tenggelam dalam gemuruh warga yang mulai bergolak.
“Ini tidak adil! Orang yang berhak malah tidak dapat!” teriak seorang lelaki dari belakang kerumunan. Pak Darto, warga yang sudah lama kesal dengan kebijakan Kades Tulus dan kroninya.
Kades Tulus tersentak, tetapi mencoba tetap tenang. “Mohon tenang, semuanya sudah sesuai prosedur,” ujarnya dengan nada meyakinkan, meski matanya sedikit gelisah. Arif dan Usman hanya saling pandang, tampak berusaha menahan tawa sinis.
Kirana memberanikan diri maju. “Pak Tulus, saya sudah mendaftar sejak lama. Tapi kenapa nama saya tidak ada di daftar penerima?”
Kades Tulus tersenyum tipis, “Wah, mungkin ada kesalahan, Bu Kirana. Tapi kita sudah mengikuti aturan dari kecamatan, jadi harap dimaklumi.”
Kirana menunduk, mencoba menahan perasaannya. Namun, hati kecilnya merasa hancur. Seharusnya bantuan ini bisa meringankan beban hidupnya, tapi kini ia harus pulang dengan tangan hampa. Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan mereka yang sudah punya kuasa.
Namun, Pak Darto tidak tinggal diam. “Sudah terlalu sering ini terjadi, Pak Kades!” suaranya menggelegar. “Yang dapat bantuan malah orang-orang yang sebenarnya mampu. Ini konspirasi kalian semua! Apa tidak takut dosa?”
Kades Tulus menegakkan tubuhnya, wajahnya mulai memerah. “Hati-hati bicara, Pak Darto. Ini semua sudah sesuai keputusan kecamatan. Jika ada keluhan, silakan ajukan ke atas!”
Pak Darto mendengus, “Keputusan kecamatan atau keputusan kalian yang sengaja menyelundupkan nama-nama kerabat kalian?”
Tuduhan itu membuat suasana semakin panas. Warga mulai ikut berbicara, menyuarakan ketidakpuasan mereka.
Dalam hatinya, Kades Tulus mulai merasa terpojok. Ia tahu tuduhan Pak Darto ada benarnya. Bersama Ketua RT Arif dan Ketua RW Usman, mereka memang mengatur agar sebagian bantuan jatuh ke tangan keluarga mereka. Ia ingin menyangkal, tapi kata-kata sulit keluar.
Sementara itu, pandangan Kirana yang kecewa menambah beban di dadanya.
Ketua RT Arif dan Ketua RW Usman sudah mulai resah. Mereka membisiki Kades Tulus agar segera menghentikan keributan ini. "Sudahlah, nanti kita atur lagi. Jangan sampai ini jadi besar," ujar Ketua RW Usman.
Akhirnya, dengan terpaksa, Kades Tulus angkat bicara. “Baiklah, saya akan cek ulang daftar ini. Jika ada yang merasa tidak terdaftar padahal memenuhi syarat, harap lapor ke sekretariat. Saya pastikan semuanya akan ditinjau ulang.”
Suasana sedikit mereda, tapi Pak Darto dan beberapa warga masih terlihat kesal. Kirana tak banyak bicara, namun dalam hati ia merasa sedikit lega bahwa suaranya didengar, meski ia tahu mungkin tidak banyak yang akan berubah.
Kades Tulus menatap warga dengan perasaan bersalah yang semakin menghimpit. Di balik senyumnya, ada rasa takut yang ia sembunyikan: takut kehilangan kepercayaan dan posisinya.
Namun, ia juga tahu, jika terus bermain dengan kebijakan curang ini, cepat atau lambat semua akan terbongkar. [ai]
***
Apa yang bisa #KawanAksi pelajari dari CERGAS (Cerita Berintegritas) di atas? Cerita di atas mengajarkan kita bahwa sebagai pemimpin seperti kepala desa/lurah/ketua RT/ketua RW adalah amanah. Untuk itu, perlakukan warganya dengan semestinya, bukan memanipulasi bantuan sosial untuk kerabat dan kroninya.
Pembagian bansos yang tidak tepat sasaran justru akan menyebabkan masalah baru; kesenjangan sosial yang semakin lebar juga mengancam kerukunan antarwarga. Sebagai kepala desa/lurah/ketua RT/ketua RW harus membiasakan yang benar, memberikan contoh atau teladan yang baik, bukan malah mengakali bantuan pemerintah. Sebab, membiasakan yang tidak benar seperti itu, justru merupakan bibit-bibit pungli dan korupsi terjadi.
Kita harus terus tanpa henti mengampanyekan budaya berintegritas di mana pun berada. Kita harus sadar dan menyebarkan pesan-pesan ini ke keluarga, bahwa penting untuk berlaku adil, jujur, dan tanggung jawab sebagai pemimpin sekecil apa pun, bahkan terhadap diri sendiri.
Hidup akan lebih tenang dengan kebiasaan yang benar, bukan kebiasaan menyimpang. Yuk, berantas korupsi sejak dini!