LEBARAN tiba. Keluarga Kirana terlihat begitu riuh rendah. Semua keluarga inti telah berkumpul. Ini tahun pertama Kirana pulang kampung setelah bekerja di kota.
Kirana adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Jarak usia dirinya dengan adik-adiknya cukup jauh. Dua adiknya masing-masing masih duduk di tingkat SMP dan SD.
Kasihnya kepada kedua adiknya begitu besar. Ia sering mengirimi mereka hadiah, seperti baju, buku, dan lain-lain. Lebaran ini juga ada yang kado spesial dari Kirana untuk orangtua dan adiknya.
Dari dapur, ibu memanggil Kirana. “Tolong kamu pergi ke pasar, beli ketupat, besok kita bikin opor,” tutur ibunya kepada Kirana.
Sambil bermain ponsel pintarnya, Kirana menyanggupi perintah ibunya itu. Tak lupa ia menanyakan kebutuhan lain yang sekiranya ingin dibeli. Ternyata daftar belanjaan ibu cukup banyak.
“Semuanya biar Kirana yang bayarin ya, bu,” tukas Kirana.
“Ini loh uangnya, sudah ibu siapin,” balas Ibu.
“Sudah, sudah...bye-bye ibu...”
Ibunya tersenyum melihat anak perempuan satu-satunya itu ngloyor meninggalkan dapur. “Nduk, nduk...yawes terserah kamu saja,” sahut ibu.
Kantong belanja Kirana penuh. Ditenteng dua kantong itu dan dibawanya ke dapur. Semua orderan ibunya telah dibeli. Sembari rebahan di kursi depan TV, ia menaruh kunci motor beserta uang dari sakunya di atas meja.
Selama beberapa hari terakhir, hawa di kampungnya bikin gerah. Meski di kota, ia terbiasa dengan udara panas, tapi kali ini ia benar-benar gerah. Ia pun memutuskan untuk mengguyur tubuhnya, menghempaskan rasa gerah.
Tak lama, Panji, adik bungsunya, baru pulang dari muter-muter ke tetangga. Anak-anak memang terbiasa bersilaturahmi dari rumah ke rumah; mereka pun terbiasa diberi amplop lebaran—anak-anak menyebutnya THR.
Panji tampak sumringah. Sambil duduk di depan TV, ia menghitung-hitung amplop yang diterimanya. Di saat itu pula kakaknya, Krisna, datang menghampiri. Ia baru bangun tidur karena sehabis begadang main game.
“Wah, ada yang kaya mendadak,” kata Krisna kepada adiknya.
“Ih, ingin tahu aja nih, Kak Krisna....wee...,” balas Panji.
“Bagi dong, kakak mau beli es krim di warung depan.”
“Ah, kan kakak juga dapat uang.”
“Yee, pelit...”
Uang lebaran Krisna, sebagian besar telah dipakai untuk top-up game. Tadinya ia ingin beli es krim dengan sisa uangnya, tapi ia kepikiran bakal untuk top-up game lagi.
Ia melihat ada uang Rp15.000 dengan pecahan Rp10.000 dan Rp5.000 yang tergeletak di meja, tak jauh dari TV. Tanpa pikir panjang, ia sambar uang itu lalu pergi keluar untuk membeli es krim di warung Mak Kumbi.
Adiknya, Panji, mengingatkan kakakanya itu agar bertanya dulu kepada ibu soal uang yang diambilnya.
“Kak, itu uang siapa?” kata Panji.
“Ssstt...diam saja,” ujar Krisna sambil mengepalkan jari tangannya, “Ini kan uang keluarga kita juga. Pasti ibu ngasih izin Kak Krisna ambil uang ini.”
Panji diam saja. Ia takut kalau sudah diancam sama kakaknya itu. Ia kembali menghitung amplop lebarannya dan berkhayal mau beli mainan.
Sehabis mandi, Kirana datang menghampiri si bungsu yang masih asyik dengan uang-uang barunya. “Adik, uangnya banyak amat. Berapa jumlahnya? tanya Kirana.
“Sejuta...” sahut Panji. Kirana mengerutkan dahinya, tak percaya dengan hitungan adiknya itu. “Coba sini kakak hitung,” tuturnya. Dan, hasilnya ternyata cuma Rp885.000. Kirana baru ingat ia punya uang Rp15.000 sisa belanja. Ia ingin memberikan uang itu agar jumlah uang adiknya menjadi Rp900.000. Tapi, ketika dia melihat ke meja, uang raib. Ia bertanya kepada adiknya.
“Panji, melihat uang kakak di sini, enggak?
“Oh itu, uang kakak? Tadi diambil Kak Krisna. Katanya mau beli es krim di Mak Kumbi.”
“Loh, kok enggak izin dengan kakak Kirana?”
“Tadi, Panji sudah ingetin, tapi Panji diancam.”
Begitu Krisna pulang ke rumah. Kirana langsung menghardik adiknya itu dengan comelan-comelan. Krisna pun membela diri bahwa dirinya tidak mencuri, ia hanya mengambil uang di meja. Ia beranggapan uang yang di meja itu adalah uang keluarga.
Suara keributan itu terdengar ibunya sampai dapur. “Eh, eh, kok pada ribut. Kan sudah saling maaf-maafan kok ribut lagi,” ibunya menyela.
Kirana pun menjelaskan duduk perkaranya. Ibu meminta semua duduk di kursi. Ibu pun mulai memberi nasihat.
“Kirana, kamu benar, adikmu itu salah. Tapi, jangan marah-marah seperti itu. Kamu yang lebih tua, harusnya bisa sabar...” kata ibu.
“Habisnya, Kirana sebel. Itu mencuri namanya, bu!”
“Krisna enggak mencuri, kok...” Krisna membalas.
“Sudah-sudah...begini Krisna. Apa pun pembelaanmu, apa yang kamu lakukan itu salah. Seharusnya kamu minta izin, bertanya dulu, uang siapa itu dan bolehkah diambil?” ujar ibu menasihati.
“Panji sudah bilangin bu, tapi Kak Krisna ngeyel...” celetuk Panji.
“Heh, kamu...” Krisna melotot ke arah Panji.
“Krisna, adikmu itu sudah benar. Kok kamu marahi? Kamu juga tidak boleh mengancam-ancam seperti itu. Siapa pun di rumah ini, jika ingin memakai barang bukan punyanya, ya harus minta izin. Berapa kali kamu Panji memakai kaos Kak Krisna?
Panji mendengar itu lalu merasa bersalah dan memeluk ibunya. “Maaf, Bu...” kata Panji.
“Menggunakan barang atau uang yang bukan miliknya ya harus izin dulu, meski itu ada di rumah ini. Itu namanya kita bersikap jujur. Jangan asal ambil saja. Jika itu dibiasakan, lama-lama kalian bisa mengambil hak orang lain. Jadi, biasakan yang benar dengan bertanya dulu ya. Jangan membenarkan sesuatu yang biasa dilakukan.”
“Apa yang ibu sampaikan ini adalah harus kalian ingat-ingat. Dari hal kecil kalian harus selalu membiasakan yang benar. Sebab dari hal kecil, biasanya praktik korupsi itu terjadi, mengambil uang tadi itu juga bagian dari praktik korupsi kecil-kecilan.”
“Krisna minta maaf ibu, Kak Kirana, dik Panji...Krisna salah,” kata Krisna.
Tiba-tiba, Krisna memeluk ibunya. Semuanya pun memeluk berbarengan. Krisna berbisik ke Kirana. “Maafin Krisna ya, Kak,” katanya. Kirana mengangguk dan mencium kepala adiknya itu.
“Kalian ini mutiara-mutiara ibu.”
**
#KawanAksi, pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah di atas? Apakah ini sesuatu yang wajar, cenderung wajar, cenderung tidak wajar, atau tidak wajar?
Jika kita menilai hal itu wajar, berarti kita termasuk orang yang permisif dengan praktik korupsi skala kecil atau biasa disebut petty corruption.
Pesan yang ditekankan dari cerita itu ialah membiasakan diri untuk bertanya atau izin terlebih dulu dengan anggota keluarga lain jika ingin meminjam atau memakai barang yang bukan miliknya.
Yuk, kita tebarkan nilai-nilai integritas atau antikorupsi di keluarga kita demi Indonesia bebas korupsi.[]