DALAM waktu 20 jam terakhir per Kamis (22 Agustus 2024) pagi, kueri “peringatan darurat Indonesia” berada di puncak Google Trends. Frasa ini dipakai warganet Indonesia dalam perbincangan di dunia maya.
Kueri frasa itu menyikapi perkembangan politik yang ramai dua hari belakangan, khususnya soal putusan Mahkamah Konstitusi dan RUU Pilkada.
Isu politik selalu menarik perhatian lebih dari satu dekade terakhir. Media sosial menjadi “senjata” modern politikus atau orang-orang partai atau simpatisan untuk berpolitik.
Polarisasi politik imbas dari pemilu pun tak terelakkan terjadi, sehingga perbincangan isu politik semakin kuat dan tajam di media sosial.
Dipandang dari segi positif, setidaknya obrolan di dunia maya itu menunjukkan publik mulai melek politik. Hanya saja, efek negatifnya ialah perkelahian atau perundungan politik juga membesar.
Tak sedikit pula apatis terhadap kondisi tersebut. Muncul sinisme: “ngapain kita ngomongin politik”, “lebih baik kita urus diri sendiri daripada ngomong politik”, atau “politik tidak membuat kita kenyang, kerja saja yang benar” dan banyak lagi sinisme-sinisme serupa itu di publik.
Padahal, politik adalah sebuah jalan untuk mencapai idealisme kehidupan. Politik juga sangat dekat dengan kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya, politik bukan sesuatu yang buruk.
“Tanpa politik,” kata KH Saifuddin Zuhri, Menteri Agama era Presiden Sukarno (1962-1967), dalam Kaleidoskop Politik di Indonesia 1 (1981), “hidup ini cuma kehampaan, kosong, dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.”
Berbicara politik dan orang politik, maka tak lepas dari keberadaan partai politik. Dalam konteks demokrasi, partai politik adalah instrumen penting dan mendasar.
Partai politik merupakan sebuah badan hukum publik yang memiliki fungsi:
- menyeleksi pemimpin politik
- membuat kebijakan publik
- melakukan pendidikan politik
- mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan publik, serta
- menjalankan komunikasi dan partisipasi politik, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Oleh karenanya, sangat penting bagi partai politik merekrut orang-orang yang kompeten. Karena merekalah yang mewakili publik dalam menyeleksi pemimpin.
Tantangan rekrutmen partai politik
Tantangan terbesar partai politik dalam melembagakan rekrutmen politik terutama, yaitu pertama, belum tumbuhnya kultur persaingan secara sehat dalam kehidupan politik, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Selanjutnya, tantangan kedua, yaitu melembaganya kepemimpinan personal dan oligarkis di sebagian parpol pasca-Orde Baru. Sebagian parpol dikuasai dan dimiliki oleh tokoh-tokoh besar yang merasa memiliki saham terbesar dalam partai yang dibentuk dan dipimpinnya.
Tak mengherankan bila parpol yang seharusnya merupakan badan hukum publik, kini sebagian besar cenderung berubah menjadi badan privat karena menjadi “milik” tokoh atau individu tertentu yang memiliki sumberdaya tak terbatas.
Ketua umum dan/atau ketua dewan pembina berikut segelintir elite parpol bukan hanya menjadi satu-satunya patron dan sumbu loyalitas bagi para kader parpol, melainkan juga menjadi hampir satu-satunya sumber pembiayaan parpol.
Konsekuensi logis dari melembaganya kepemimpinan personal dan oligarkis adalah mengentalnya sikap abai pimpinan parpol terhadap urgensi prinsip meritokrasi dalam tata-kelola parpol, baik sebagai organisasi moderen maupun sebagai agen utama sistem demokrasi.
Tantangan ketiga, rendahnya komitmen elite atau para pemimpin parpol untuk membangun dan melembagakan demokrasi internal partai.
“Sudah menjadi rahasia umum jika orientasi sebagian politisi parpol era reformasi lebih pada perburuan rente (rent seeking) dan jabatan (office seeking) ketimbang orientasi pada perjuangan kebijakan (policy seeking) untuk kepentingan umum,” demikian disebutkan dalam buku tersebut.
Dan, tantangan terakhir, bagaimana negara mengintrodusir sistem rekrutmen politik yang transparan, demokratis, akuntabel dan memenuhi prinsip meritokrasi ke dalam kebijakan (undang-undang) tentang partai politik dan pemilu.
Dengan demikian sistem rekrutmen politik yang baku, terutama untuk jabatan publik di parlemen dan eksekutif, bukan lagi wilayah atau domain internal partai politik belaka, melainkan juga menjadi domain publik, sehingga perlu pengaturan dan panduan yang lebih jelas melalui peraturanperundangan yang berlaku
Prinsip kaderisasi partai politik
Hampir sama dengan problem rekrutmen politik yang berakar pada belum terbangunnya sistem yang baku, transparan, demokratis, dan akuntabel, problem kaderisasi pun pada dasarnya bersumber pada sikap abai elite partai politik terhadap urgensi sistem kaderisasi bagi parpol sebagai salah satu pilar utama sistem demokrasi.
Padahal, kaderisasi sangat penting mengingat perlu ada transfer pengetahuan, keterampilan dan keahlian dalam suatu kajian tertentu. Fungsi kaderisasi dalam partai politik adalah mempersiapkan calon-calon untuk siap menerima mengelola partainya ke depan. Kaderisasi juga merupakan proses untuk melatih dan mempersiapkan anggota partai dengan berbagai keterampilan, disiplin ilmu dan pengalaman untuk mencapai tujuan partai.
Meski semua partai politik secara formal mengakui pentingnya kaderisasi, seperti tercermin dalam AD/ART masing-masing, namun dalam realitasnya pada umumnya parpol tersebut bukan hanya tidak mengimplementasikan secara serius, tetapi juga belum memiliki sistem kaderisasi yang baku.
Oleh karenanya, partai politik perlu menerapkan prinsip-prinsip kaderisasi. Pertama, terbuka. Ini mengandung arti bahwa proses kaderisasi harus dapat diikuti oleh semua anggota partai politik, artinya anggota partai politik memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelatihan dan kegiatan-kegiatan yang lainnya dalam proses kaderisasi.
Kader harus dibiasakan dengan sistem persaingan yang sehat dan transparan. Dengan sistem persaingan yang terbebas dari kolusi dan nepotisme inilah kaderisasi kepemimpinan akan dapat melahirkan calon-calon pemimpin yang berkualitas.
Kedua, non-diskriminatif. Pemberian akses yang sama dalam proses kaderisasi juga sekaligus berarti bahwa mekanisme kaderisasi juga membuka ruang yang sama untuk seluruh anggota untuk mengikuti dan/atau mendapatkan promosi dan
karier politik melalui proses kaderisasi tanpa membedakan warna kulit, golongan, agama, gender, serta suku.
Prinsip non-diskriminatif dapat mengurangi oligarki parpol terkait dengan kandidasi dalam kontestasi pemilu legislatif, kepala daerah dan presiden/wakil presiden serta pemilihan kader-kader partai di jabatan publik lainnya.
Ketiga, berjenjang. Penjenjangan kaderisasi parpol didasarkan pelapisan yang bertahap, bertingkat atau piramidal. Ini misalnya bisa disusun dengan melakukan penjenjangan kaderisasi tingkat dasar, tingkat menengah, tingkat lanjut atau penyebutan lainnya.
Penjenjangan kaderisasi ini melewati tiga tahap, yaitu tahap pertama, tahap madya, dan tahap utama.
Faktor lain di balik keengganan parpol mengimplementasikan kaderisasi politik bagi anggotanya adalah terbatasnya sumber dana partai. Partai tidak atau belum menjadikan program kaderisasi sebagai prioritas. Seperti diketahui, tiga sumber dana parpol selama ini, yakni iuran anggota, subsidi negara, dan sumbangan pribadi atau badan usaha yang tidak mengikat serta jumlahnya dibatasi undang-undang
Pada umumnya iuran anggota partai tidak berjalan sehingga tidak bisa menjadi sumber pendanaan partai. Sumbangan perorangan dan badan usaha juga relatif terbatas karena keengganan pemilik dana berafiliasi secara terbuka.
Sementara itu nominal subsidi negara bagi partai politik terlampau kecil nilainya sehingga sulit diharapkan sebagai sumber dana legal bagi partai. Akibatnya, meskipun setiap parpol diwajibkan oleh negara melakukan kegiatan-kegiatan, misalnya pendidikan politik, dalam realitasnya hal itu tidak bisa terlaksana karena terbatasnya dana parpol.
Faktor pragmatisme politik yang makin meluas saat ini juga memberi kontribusi besar terhadap sikap abai elite parpol terkait urgensi pelembagaan kaderisasi politik.
Kecenderungan para anggota dan elite partai memilih jalan pintas dalam perebutan jabatan politik, baik di internal partai maupun jabatan publik di eksternal parpol. Tidak mengherankan jika kemudian muncul fenomena “loncat pagar” dari para politisi parpol jika mereka kecewa terhadap pimpinan partai mereka.
“Hal ini tercermin dari cukup seringnya politisi pindah partai ketika kecewa lantaran konflik dengan pimpinan partai ataupun mungkin tidak dinominasikan sebagai pejabat publik, baik di eksekutif maupun legislatif, atau juga pindah partai karena berbagai alasan lainnya,” ditegaskan oleh Syamsuddin Harris dkk dalam buku panduan tersebut.
Fenomena “loncat pagar” sebenarnya tak perlu terjadi seandainya tata kelola partai dilakukan secara transparan, demokratis, dan akuntabel. Termasuk di dalamnya, sistem kaderisasi yang jelas dan terukur, serta sistem rekrutmen politik yang didasarkan pada prinsip meritokrasi.
Kita berharap partai-partai politik di Indonesia memperhatikan hal-hal tersebut. Ini demi terwujudnya demokrasi yang ideal, mewujudkan kesejahateraan bagi masyarakat luas.
Komisi Pemberantasan Korupsi terus mendorong agar partai-partai politik membenahi diri agar tidak terjebak dalam praktik koruptif dan korupsi. Sebab, data statistik menunjukkan, kasus korupsi tertinggi dilakukan oleh anggota DPR dan DPRD serta kepala daerah—mereka adalah orang-orang politik alias politikus.[]