LEBARAN tinggal menghitung hari. Gelombang mudik orang-orang dari kota ke desa menjadi aktivitas rutin saban tahun. Banyak cara orang-orang mengekspresikan diri untuk mudik, dari hal sederhana hingga perilaku bermewah-mewahan, bahkan melebihi dari kemampuan.
Yuk, kita ikuti Cerita Integritas (Cergas) Lebaran berikut ini:
**
BEBERAPA panggilan tak terjawab terlihat di notifikasi layar ponsel Kirana. Sang pemilik sedang mandi. Bersenandung ria bak penyanyi idola. Sore itu ia sudah bikin janji bersama “Geng Kemuning”—anak-anak satu indekos yang beralamat di Jalan kemuning.
Daerah kos itu cukup strategis. Berada di lingkaran pusat ibu kota. Selemparan mata dari lantai dua, ia sudah bisa menengok indahnya Plaza Indonesia dan gedung-gedung megah lain yang menghiasi Jakarta.
Ia juga biasa memandang deretan gerbong MRT yang lalu-lalang sepanjang hari, yang berisi orang-orang bergegas. Dan, Kirana adalah salah satu dari kumpulan orang-orang itu.
Bekerja sebagai marketing produk kecantikan di bilangan Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Kirana kudu tampil cantik. Bagaimana mungkin memasarkan produk kecantikan, kalau dirinya sendiri tidak tampil aduhai. Itu yang selalu ditekankan sang bos.
“Kirana, ayoo buruan!” teriak Lintang dari luar kamar.
“Bentar. Tinggal nyoret bibir nih.”
Empat orang keluar dari kos-kosan: Kirana, Lintang, Ayu, dan Putri. Tujuan mereka adalah Jalan Sabang di Jakarta Pusat. Hari itu libur, waktunya jalan-jalan, sekalian berbuka puasa bersama yang telah mereka agendakan dua pekan lalu.
“Sebelum kita mudik, aku mau coba tongseng di Sabang,” ujar Kirana.
“Okelah gas yukk...” balas Ayu di grup WhatsApp “Geng Kemuning”.
Mereka naik MRT, turun di Sarinah. Lalu, jalan sebentar dan membelok ke jajanan Sabang. Sore yang penuh. Jalanan Jakarta mana yang tidak macet. Jelang berbuka, jajanan di sini begitu ramai. War takjil tak hanya dilakukan orang-orang berpuasa, mereka yang tak puasa juga ikutan membeli.
Tongseng. Soto. Ayam bakar. Tiga menu yang mereka pesan.
Sembari berbuka, mereka pun berbincang-bincang rencana mereka mudik. Tapi, raut muka Kirana sedikit masam. Demi menutupi fakta sebenarnya, ia tetap tersenyum di depan teman-temannya.
Malam berjalan. Dari corong masjid, suara bilal mengakhiri tarawih. Kirana dkk masih lanjut berjalan-jalan ke mal. Mereka memilih ke Kota Kasablanka, enam kilometer ke arah selatan.
“Aku mau beli HP baru,” ujar Kirana saat ngobrol dalam perjalanan di taksi daring.
“HP-mu kan baru ganti lima bulan lalu, Na,” sahut Lintang.
“Logo apel dong, kan mau lebaran...”
“Oalaah....” sambut serempak Ayu, Lintang, dan Putri.
Bagi Kirana HP logo apel kegigit secuil itu capaian dirinya selama bekerja bertahun-tahun di Jakarta. Ia ingin pulang Lebaran nanti ke Wonogiri dengan tampil beda. Tiap tahun, ia memang selalu mudik. Dan, tiap mudik pula ia selalu tampil yang beda-beda. Mulai gaya rambut, baju baru, sepatu baru, dan terakhir ia sewa mobil yang dipesannya dari Stasiun Solo Balapan ke rumahnya.
Tahun ini, ia berencana pulang naik pesawat. Tiket sudah di tangan. Ia sengaja naik Garuda dan berencana membuat video perjalanan untuk diunggah di TikTok. Akun medsosnya adalah identitas dirinya, yang jauh berbeda dengan sehari-harinya. Unggahannya serba bergaya wah. Mana ada, unggahan makan tongseng di Sabang, tapi video unboxing iPhone 13 pro yang ia bakal pamerkan di lini masa kawan-kawannya.
Medsos baginya adalah cara untuk menunjukkan eksistensi diri. Sebagai “ahli pemasaran”, maka begitulah salah satu trik yang dilakukan.
Lima hari jelang Lebaran, Kirana tampak sibuk. Koper Tumi yang baru dibelinya dengan utang pinjol sudah berisi pakaian favoritnya. Kardus Ikea yang dibeli lewat lokapasar berisi oleh-oleh yang dibelinya di Pasar Senen. Tas branded yang ditenteng pun sudah disiapkan pula. Lebaran ini benar-benar over-budget. Tapi, Kirana suka-suka saja, yang penting tampil beda adalah impiannya. Ia ingin seperti princess di kampung. Ia sudah utang Rp30 juta dari aplikasi pinjol demi Lebaran. Padahal, gajinya hanya sebesar UMP.
“Kamu tak takut dikejar-kejar debt collector, Na?” tanya Putri saat membantu mengemasi barang-barang.
“Santai saja. Nanti tinggal pindah kos saja, hehe...”
Kirana yakin dirinya bakal bisa melunasi utang-utangnya itu. “Aku sudah terbiasa makan cuma sekali, kan. Tahun ini aku ingin emak dan bapak senang melihat putri bungsunya pulang kampung dan sukses.”
“Mereka tak perlu tahu bagaimana hidup sehari-hari di Jakarta seperti apa. Mereka tahunya saya kerja di salon kecantikan.”
“Tapi, ternyata menyusuri jalan ibu kota nawarin produk kecantikan, ya...” seloroh Lintang yang baru datang dan bersadar pintu kamar Kirana.
“Huuuuu....betul sih, wkwkwk....” teriak Kirana.
Bagi Kirana mempercantik diri adalah suatu kewajiban diri. Semakin bersolek, maka yang disebut hidup itu barulah bergairah, meski biaya yang diperlukan harus di luar kemampuannya. Aku bersolek, maka diri ini menjadi ada.
Taksi daring tiba. Kirana dibantu sang sopir memasukkan barang-barang ke mobil. “Terminal 3 Soekarno-Hatta, ya pak” tutur Kirana.
Mobil melesat melewati tol dalam kota. Hari masih gelap. Waktu sahur. Kirana membawa sekerat roti minimarket dan susu hangat yang disiapkan di botol minumnya. Usai makan sahur, ia rebahan di jok mobil. Mata tertutup. Dalam benaknya, ia terbayang-bayang utang Rp 30 juta, sesuatu yang tak sedikit, mengingat kerjanya juga tidak baik-baik saja.[]
**
Dari cerita “Solek Kirana”, pelajaran apa yang bisa dipetik #KawanAksi?
Pesan dari cerita di atas ialah kita tidak perlu hidup bermewah-mewahan untuk mendapatkan pengakuan, penghormatan atau dianggap sebagai orang kaya dari orang lain.
Membiasakan diri hidup sederhana, tidak melebihi kemampuan diri, bersyukur dengan rezeki yang diterimanya, adalah pilihan yang lebih baik agar hidup lebih nyaman dan tenang, tanpa beban.
Yuk, sebarkan benih-benih nilai integritas dan perilaku antikorupsi “Jumat Bersepeda KK” (jujur, mandiri, tanggung jawab, berani,sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras).