TELEVISI menyala. Seorang reporter perempuan muda melaporkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi baru saja menangkap tersangka korupsi. "Kepala Dinas Pendidikan Rindu Alam Ditangkap KPK", begitu judul beritanya.
Kirana yang menyimak kabar itu kaget. Ia tak menyangka bekas kepala sekolahnya ditangkap KPK. Ia sudah seringkali mendengar kata korupsi di televisi atau ketika mendengarkan orangtuanya mengobrol.
Di beranda, Kakek Tulus sedang menyeruput kopi arabika kesukaannya. Kirana pun bertanya kepada sang kakek yang sedang menikmati senja Jakarta, yang biasa-biasa saja, hari itu.
Baca:
Apa itu korupsi?
"Kek, korupsi itu apa? Bekas kepala sekolah Kirana barusan ditangkap KPK loh!" Kirana membuka obrolan.
"Hah? Apa iya?" Kakek Tulus terhenyak mendengar kabar itu.
Kirana bercerita jika dirinya sudah sering mendengar kata "korupsi", tapi tidak tahu apa sebenarnya. Yang ia pahami, orang korupsi disebut koruptor, lalu dipenjara. Ia pun mengajukan pertanyaan tentang korupsi.
Kakek Tulus, seorang pensiunan dosen, manggut-manggut, membenarkan apa yang dipahami cucunya. Ia menyuruh gadis kelas 5 SD itu untuk duduk di sampingnya; diminta mendengarkan penjelasannya.
Korupsi itu berasal dari bahasa Latin—salah satu bahasa kuno di Italia, tutur Kakek Tulus. Ada beberapa penyebutan: corruptio (hal merusak), corrumpere (merusak/menghancurkan), corruptor (perusak/pelanggar; pelaku korupsi), dan corruptus-a-um (sifatnya: rusak/hancur)—dalam buku Korupsi Melacak Arti, Menyimak Implikasi karya B. Herry Priyono.
Secara hukum, korupsi adalah tindak pidana melawan hukum sebagaimana disebut dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor); berdasarkan Pasal 1 UU Nomor 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tipikor.
Baca:
Jenis korupsi
Korupsi itu ada 30 macam, tapi disederhanakan dalam tujuh kelompok, antara lain merugikan negara, suap-menyuap, gratifikasi, benturan kepentingan pengadaan barang dan jasa, pemerasan, perbuatan curang, dan penggelapan dalam jabatan. (UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor)
"Ah, Kinara kok jadi pusing, Kek? Oh ya, Kirana juga pernah dengar KKN, apalagi itu?
"Oh itu, kependekan dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme." Istilah ini muncul santer di era Reformasi usai Presiden Soeharto berhenti dari kekuasaannya.
"Kolusi itu kerja sama,” ujar Kakek Tulus, “Tapi, melawan hukum atau aturan yang berlaku.” Contohnya begini, ada si A ingin mendapatkan kerja, tapi dengan cara menyogok seseorang di perusahaan atau kantor pemerintah.
Baca:
Sementara itu, nepotisme adalah perbuatan menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara; lagi-lagi perbuatan yang dimaksud ini yang melanggar aturan berlaku, ya. (berdasarkan UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN)
"Contoh nepotisme ini seperti ini: ayah Kirana kan kerja di kantor pajak, lalu dia menunjuk paman Budi, adik ayah, untuk jadi pegawai di kantor ayah. Jadi, mendahulukan keluarga atau kerabat dekatnya, baru orang lain; padahal secara aturan tidak boleh."
Kirana hanya bengong sembari memainkan tabletnya. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kirana enggak paham, Kek. Makin lama, makin membingungkan. Kakek belum move on dari kuliah nih," goda Kirana dengan tertawa.
"Ah, sudah ah, Kirana mau main boardgame ‘Sahabat Pemberani’ saja. Yang jelas korupsi itu jahat. Nanti, Kirana mau bilang ke ayah: jangan korupsi," seloroh Kirana sambil ngeloyor ke dalam rumah.
Kakek Tulus mengangkat tangannya, memukul pelan kepala Kirana. “Hmmm…”[]