Political Corruption
Political corruption atau korupsi politik terjadi ketika pengambil keputusan politik menyalahgunakan wewenangnya dengan memanipulasi kebijakan, prosedur, atau aturan demi keuntungan diri atau kelompoknya. Keuntungan ini bisa berupa kekayaan, status, atau mempertahankan jabatan. Jenis-jenis political corruption adalah penyuapan, perdagangan pengaruh, jual beli suara, nepotisme, atau pembiayaan kampanye.
Seperti halnya grand corruption, political corruption melibatkan orang-orang di level tinggi penyelenggaraan negara yang main mata dengan pengusaha dalam upaya state capture. Padahal para pejabat ini seharusnya mewakili rakyat untuk menciptakan kesejahteraan bagi mereka, namun berkhianat.
Political corruption sangat berpotensi terjadi ketika anggota legislatif juga merangkap sebagai pengusaha. Mereka kemudian memanipulasi institusi politik untuk memengaruhi pemerintahan dan sistem politik demi kepentingan perusahaannya. Undang-undang dan regulasi disalahgunakan, tidak dilakukan secara prosedural, diabaikan, atau bahkan dirancang sesuai dengan kepentingan mereka.
Selain untuk memperkaya diri sendiri dan mempertahankan jabatan, Wuryono mengatakan, political corruption juga biasa dilakukan untuk mengumpulkan dana bagi pemenangan parpol atau dirinya pada pemilihan berikutnya. Uang hasil korupsi ini kemudian digunakan untuk melakukan money politic, yaitu menyogok rakyat, agar bisa terpilih kembali.
"Akhirnya yang terjadi adalah sebuah lingkaran setan. Di sinilah pentingnya pendidikan pemilu untuk memutus mata rantai korupsi ini. Banyak orang yang tidak sadar bahayanya money politic," kata Wuryono.
Korupsi politik juga telah merendahkan dan merusak iklim demokrasi dengan memengaruhi pilihan rakyat menggunakan materi. Masyarakat seharusnya layak mendapatkan wakil yang terpercaya di parlemen, bukannya orang-orang yang mengandalkan uang untuk mendapatkan dukungan.
Salah satu bentuk money politic yang paling umum adalah memberikan amplop berisi uang agar rakyat memilih mereka. Masyarakat mesti menyadari, bahwa nilai uang itu tidak sepadan dengan kerugian yang akan mereka alami jika politisi kotor duduk sebagai pengambil kebijakan.
"Jangan mau menggadaikan hidup lima tahun hanya karena amplop. Analogi sederhananya, jika kita menerima amplop berisi Rp500 ribu, berarti kita telah menggadaikan kehidupan kita dengan hanya Rp100 ribu per tahun," kata Wuryono.