Dian berharap para peserta menindaklanjuti pelatihan dengan menyusun komitmen dan rencana tindak lanjut dalam membangun sistem antikorupsi di daerah masing-masing.
Pelatihan seharian itu merupakan tindak lanjut dari Executive Briefing yang telah dilakukan KPK kepada peserta sekaligus pasangannya pada Senin (30 Oktober). Pada Executive Briefing angkatan kedelapan ini, pembekalan antikorupsi juga disertai dialog diberikan langsung oleh pimpinan KPK; hadir di acara, yaitu Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.
Korupsi canggih dan terorganisasi
Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana menuturkan, tindak pidana korupsi saat ini berlangsung dengan canggih dan terorganisasi.
Sampai sekarang, ia menuturkan, korupsi masih termasuk sebagai kejahatan luar biasa. “Mengapa? Karena dampaknya. Pembunuhan juga memiliki dampak. Maaf, yang dirugikan korban dan keluarganya, tapi korupsi yang dilakukan satu-dua orang, dampaknya dirasakan oleh seluruh masyarakat,” ujarnya dalam sambutan pembukaan PAKU Integritas batch 4 di Jakarta, Selasa (31 Oktober).
Sejauh ini KPK menemukan berbagai masalah korupsi di pemerintah daerah, di antaranya pengelolaan anggaran daerah, pengelolaan aset, pemberian izin, pengadaan barang dan jasa, perekrutan pejabat daerah, dan lain-lain.
Data KPK menunjukkan sejak 2004 hingga 2022 jumlah kasus korupsi yang melibatkan pemerintah daerah sebanyak 695 kasus atau lebih dari 50 persen kasus yang ditangani KPK. “Ini angka yang tidak sedikit,” tuturnya.
Dalam upaya mendukung pemda memberantas korupsi, KPK membangun Tim Koordinasi dan Supervisi di daerah serta sistem Monitor Center for Prevention (MCP). “Dua sistem yang dibuat KPK itu untuk mencegah tipikor lewat perbaikan sistem, lewat perencanaan anggaran hingga pengelolaan dana desa,” ujar Wawan.
Sebab, menurut Wawan, panjangnya birokrasi yang rumit dan berbelit-belit juga membuka celah bagi oknum tertentu untuk melanggar aturan. Oleh karenanya, KPK mendorong sistem pelayanan secara digital untuk menghilangkan tatap muka dalam pelayanan publik. Dengan kurangnya tatap muka, maka potensi transaksional bisa diberantas.
Dalam kesempatan itu, Wawan juga menerangkan penyebab korupsi terjadi berdasarkan Triangle Fraud Theory. Bahwa korupsi, pertama, terjadi karena ada desakan atau tekanan (pressure). Tekanan ini bisa datang baik dari luar maupun dalam diri sendiri, seperti tekanan atasan, dorongan diri sendiri, desakan istri dan anak, atau lainnya.
Selanjutnya, korupsi karena ada kesempatan (opportunity) dan terakhir, karena rasionalisasi (rasionalization) atau pembenaran. Menurut Wawan, orang yang membenarkan korupsi lantaran melihat orang lain juga melakukan hal yang sama. “Misalnya, dengan mengatakan, saya sudah 30 tahun mengabdi, kok saya enggak boleh ambil,” katanya.