Berbagai literatur menyebutkan terdapat beberapa sumber penyebab terjadinya konflik kepentingan. Beberapa di antaranya, yaitu Ombudsman Victoria (2008), Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, modul Pengelolaan Konflik Kepentingan Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 tahun 2024.
Dari berbagai rujukan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber konflik kepentingan secara umum terbagi ke dalam delapan kategori utama.
1. Kepentingan Bisnis atau Finansial
Salah satu sumber konflik kepentingan yang paling nyata adalah kepentingan bisnis atau finansial. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 tahun 2024 Pasal 7 menyebutkan kondisi ini dapat terjadi ketika pejabat menggunakan kewenangannya untuk mengambil keputusan yang dipengaruhi oleh kepentingan bisnis atau finansial yang dimilikinya.
Hal ini membuat keputusan publik kehilangan objektivitas. Dampaknya bisa terlihat nyata, Misalnya, dalam tender proyek, pengadaan barang dan jasa, atau pemberian izin usaha. Alih-alih transparan, keputusan lebih condong terhadap keuntungan pribadi maupun kelompok tertentu. Hal ini membuat manfaat bagi masyarakat terabaikan.
Bentuk konflik kepentingan dalam ranah bisnis atau finansial dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, seorang pejabat menetapkan kebijakan yang memberi keuntungan pada perusahaan miliknya sendiri.
Bisa juga memberi keuntungan kepada perusahaan yang terkait dengan keluarga maupun jaringan politiknya. Praktik ini jelas menimbulkan kerugian negara. Pada akhirnya, kondisi tersebut memperkuat akar budaya korupsi yang sistematis.
2. Hubungan Keluarga dan Kerabat
Konflik kepentingan sering muncul dari ranah hubungan paling dekat, keluarga dan kerabat. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 tahun 2024 Pasal 8 menjelaskan bahwa konflik ini terjadi ketika pejabat harus mengambil keputusan yang melibatkan pihak-pihak dengan ikatan keluarga, baik langsung maupun tidak langsung.
Ruang lingkup konflik ini mencakup orang tua, pasangan, anak, menantu, hingga kerabat lebih luas. Misalnya, saudara ipar, sepupu, dan sebagainya. Bahayanya bukan hanya merugikan pihak lain yang lebih layak, tetapi juga menciptakan birokrasi yang tidak sehat.
Situasi seperti ini membuat objektivitas rawan terganggu karena kedekatan pribadi lebih dominan daripada kepentingan publik. Akibatnya, keputusan yang seharusnya netral justru dapat mengarah pada praktik nepotisme. Pada akhirnya, melemahkan sistem meritokrasi dalam birokrasi.
Pengaturan yang jelas mengenai larangan keterlibatan keluarga dalam proses administrasi pemerintahan menjadi krusial untuk menjaga integritas lembaga negara.
3. Hubungan Afiliasi
Konflik kepentingan akibat hubungan afiliasi dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 tahun 2024 Pasal 9. Kondisi ini muncul ketika keputusan pejabat dipengaruhi oleh kedekatan personal, profesional, atau sosial dengan pihak tertentu.
Jika tidak dikelola, maka situasi tersebut bisa menurunkan kepercayaan publik pada integritas birokrasi. Bentuk konflik karena afiliasi dapat terjadi dalam banyak skenario. Misalnya, ketika pejabat harus mengambil keputusan terkait mantan atasan di instansi yang sama maupun sebelumnya.
Hal serupa juga bisa muncul dalam hubungan dengan pihak yang memiliki keterkaitan istimewa dalam organisasi atau lembaga nirlaba. Situasi semacam ini menuntut pejabat untuk menjaga independensi dalam setiap tindakannya.
Prinsip profesionalitas harus diutamakan agar keputusan tetap berpihak pada kepentingan publik. Dengan begitu, potensi bias yang merugikan dapat dihindari.
4. Pekerjaan di Luar Pekerjaan Pokok (Secondary Employment/Moonlighting)
Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 tahun 2024 Pasal 10, konflik kepentingan di luar pekerjaan pokok dapat muncul ketika pejabat tertentu harus menjalankan kewenangan resmi.
Namun, di saat bersamaan, memiliki kepentingan pribadi dalam pekerjaan lain di luar tugas pokoknya. Situasi ini berpotensi mengurangi independensi dan profesionalitas sebab keputusan yang diambil bisa terpengaruh oleh kepentingan ganda. Baik untuk kepentingan jabatan maupun kepentingan pekerjaan lain yang dimiliki.
Misalnya, Seorang pegawai negeri bekerja sampingan sebagai konsultan di perusahaan swasta. Lalu, menggunakan informasi dari kantor pemerintah untuk keuntungan klien pribadinya. Contoh lain, seorang pejabat daerah membuka usaha kontraktor, lalu ikut serta dalam proyek pengadaan di wilayah yang ia pimpin.
Keadaan ini menuntut adanya kehati-hatian dan pengendalian diri agar kepentingan pribadi tidak mendominasi proses pengambilan keputusan. Wajib pisahkan secara tegas antara kepentingan jabatan dan pekerjaan lain untuk mencegah terjadinya konflik yang merugikan kepentingan publik.
5. Hubungan dengan Rangkap Jabatan
Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 tahun 2024 Pasal 11, konflik kepentingan karena rangkap jabatan terjadi saat seorang pejabat menduduki lebih dari satu posisi publik sekaligus.
Kondisi ini memunculkan potensi benturan kepentingan karena kewenangan dan tanggung jawab terbagi. Jika tidak dikendalikan, maka objektivitas dalam mengambil keputusan bisa terganggu dan berisiko menurunkan kualitas pelayanan publik.
Misalnya, seorang pejabat pemerintahan menduduki posisi komisaris di BUMN atau perusahaan swasta. Dalam keadaan tersebut, potensi keberpihakan sangat besar dalam membuat keputusan karena bisa diwarnai oleh kepentingan pribadi atau lembaga lain tempat pejabat tersebut berkedudukan.
Oleh sebab itu, dibutuhkan regulasi dan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa praktik rangkap jabatan tidak merugikan penyelenggaraan pemerintahan maupun kepentingan publik. Dengan demikian, integritas pejabat dan kepercayaan publik dapat terjaga.
6. Penggunaan Pengaruh atau Relasi dari Jabatan Lama di Tempat Baru (Revolving Door)
Konflik kepentingan dari jabatan lama di tempat baru, dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 tahun 2024 Pasal 12 dijelaskan dapat muncul ketika pejabat masih membawa pengaruh atau loyalitas terhadap institusi sebelumnya.
Hal itu dapat memengaruhi independensi dalam menjalankan kewenangan di posisi barunya. Akibatnya, keputusan publik rawan bias dan membuka peluang adanya perlakuan istimewa yang dapat menguntungkan pihak tertentu secara tidak adil.
Praktik konflik ini tampak misalnya dalam penggunaan informasi internal yang seharusnya rahasia untuk kepentingan pribadi. Bisa juga terjadi saat pejabat memberi akses atau kesempatan lebih besar kepada mantan rekan kerja atau lembaga sebelumnya.
Hal tersebut menciptakan ketidaksetaraan dalam pelayanan publik dan merugikan pihak lain. Oleh sebab itu, penting bagi pejabat baru untuk menjaga profesionalitas sejak awal. Putuskan potensi keterikatan yang dapat mencederai integritas jabatan barunya sehingga integritas tetap terjaga dan keputusan publik tetap objektif.
7. Penerimaan Hadiah atau Gratifikasi
Konflik kepentingan akibat penerimaan hadiah atau gratifikasi yang dijelaskan pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 tahun 2024 Pasal 13. Kondisi dianggap sangat sensitif karena melibatkan aspek moral, etika, sekaligus hukum.
Meski ada gratifikasi tertentu yang tidak dikategorikan sebagai suap, penerimaannya tetap bisa memengaruhi objektivitas pejabat. Bahkan, keluarga penerima pun berpotensi merasa wajib secara moral untuk membalas dengan keputusan yang menguntungkan pemberi.
Dalam praktiknya, gratifikasi yang sah menurut peraturan perundang-undangan sekali pun mampu menimbulkan bias dalam tindakan administrasi pemerintahan. Keputusan yang seharusnya murni, bisa berubah menjadi menguntungkan pihak tertentu.
Misalnya, seorang pejabat daerah diundang oleh pengusaha untuk berlibur gratis. Setelah itu, kebijakan perizinan usaha pengusaha tersebut dipermudah atau dipercepat.
Kondisi ini jelas berbahaya karena merusak keadilan dan integritas pelayanan publik. Oleh sebab itu, kewaspadaan dan sikap transparan penting dimiliki setiap pejabat dalam setiap penerimaan hadiah atau gratifikasi agar integritas pejabat tetap terjaga serta kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan tidak luntur.
8. Sumber Konflik Kepentingan Lainnya
Sumber konflik kepentingan lainnya menyoroti bentuk-bentuk penyalahgunaan kewenangan yang lebih luas dan beragam menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 tahun 2024 Pasal 14.
Contohnya, seorang pejabat membuat kebijakan yang menguntungkan dirinya sendiri. Ia juga bisa menjalin hubungan di luar prosedur resmi dengan pihak ketiga yang berkepentingan pada jabatannya maupun kewenangannya.
Bentuk konflik kepentingan lain juga bisa muncul saat pejabat menggunakan aset jabatan atau fasilitas instansi untuk kepentingan pribadi. Ada pula praktik jual-beli informasi rahasia, hingga melakukan hubungan dengan pihak lain yang dilarang oleh undang-undang.
Semua tindakan ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan bisa disalahgunakan demi keuntungan sempit. Dampaknya integritas melemah, dan kerugian bagi publik. Karena itu, diperlukan pengawasan ketat untuk mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan. Penerapan sanksi tegas juga menjadi langkah penting untuk menjaga profesionalitas pejabat dan kredibilitas lembaga publik.
Beberapa sumber konflik kepentingan ini menunjukkan betapa rapuhnya integritas bila tidak dijaga dengan sungguh-sungguh. Setiap celah bisa berubah menjadi pintu penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu, kesadaran sejak dini jauh lebih berharga daripada menunggu kerugian publik terjadi.
Mari #KawanAksi bersama-sama mewaspadai potensi ini agar setiap institusi, baik pemerintahan maupun nonpemerintahan tetap berjalan bersih dan transparan. Kita juga bisa mempelajari soal
sumber konflik kepentingan di program
e-learning Pusat Edukasi Antikorupsi KPK.