SEBAGAI pegawai negeri atau penyelenggara negara, menjaga integritas diri adalah sebuah keharusan. Karena memang begitulah seharusnya sebagai pelayan masyarakat, untuk komitmen menjalankan amanah dan tanggung jawabnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam dunia birokrasi adalah godaan menerima suap dan gratifikasi. Jika suap sudah jelas merupakan tindakan ilegal yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan, maka gratifikasi sering kali berada dalam wilayah abu-abu. Bentuknya yang menyaru sebagai hadiah atau tanda terima kasih seringkali membuat penerimanya tidak menyadari dampak jangka panjang yang bisa timbul.
Gratifikasi dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai pemberian barang, uang, fasilitas, kupon, tiket, parsel hingga pelayanan khusus. Pemberian ini mungkin terlihat sebagai wujud keramahtamahan atau bentuk penghargaan atas kerja keras yang telah dilakukan.
Namun, di balik itu, ada kemungkinan besar bahwa pemberi gratifikasi memiliki kepentingan tertentu.
Mereka bisa jadi berharap adanya kemudahan atau perlakuan khusus dalam berbagai urusan yang berkaitan dengan kebijakan atau keputusan yang akan diambil oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Sayangnya, banyak pejabat atau penyelenggara negara yang tidak menyadari bahwa gratifikasi merupakan bentuk lain dari korupsi yang lebih terselubung.
Dalam konteks membangun birokrasi yang bersih dari korupsi, segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan jabatan harus dicermati dengan hati-hati. Jika dibiarkan, kebiasaan ini dapat merusak sistem pemerintahan dan menciptakan ketergantungan terhadap pihak-pihak tertentu yang ingin mengendalikan kebijakan.
Oleh karena itu, penolakan terhadap penerimaan gratifikasi dalam bentuk apa pun adalah pilihan yang tepat dalam menjaga integritas diri juga institusi publik.
Kesadaran akan bahaya gratifikasi ilegal harus ditanamkan sejak dini, baik melalui pendidikan, pelatihan, maupun regulasi yang ketat.
Setiap individu dalam birokrasi harus memiliki pemahaman sama: menerima gratifikasi, sekecil apa pun, dapat berdampak buruk pada profesionalisme dan objektivitas mereka dalam bekerja.
Undang-Undang Pemberantasan Tipikor sudah mengatur, bahwa setiap bentuk gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berkaitan dengan jabatannya harus dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).