Makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi."
~ Soe Hok Gie dalam buku “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan”
SEPANJANG 2024, kata “korupsi” dalam pencarian di mesin Google, di wilayah Indonesia, berada di rentang skor 25-100. Artinya, selama setahun terakhir warganet Indonesia memiliki minat yang tinggi terhadap isu korupsi.
Pada Maret-April 2024, minat pencarian mencapai skor 100. Hal ini tetap konsisten skor 25-73 hingga akhir tahun. Topik yang banyak dicari seperti kasus korupsi tata niaga timah. Topik ini meningkat dengan label “pesat” lantaran menyeret Harvey Moeis, suami selebritas Sandra Dewi.
Terlebih percakapan publik baik di media sosial maupun masyarakat, vonis terhadap Harvey itu dianggap rendah dibandingkan kerugian negara yang dinilai sebesar Rp271 triliun. Terkait dengan kueri, teratas menyangkut “korupsi 271”, “271 triliun”, “korupsi harvey moeis”, dan lainnya.
Melihat gambaran data pencarian itu, terbukti bahwa masyarakat sangat antusias dengan isu korupsi. Bila kita membaca percakapan di media sosial, semua orang memiliki nada marah terhadap korupsi. Tapi, nyatanya, dari tahun ke tahun, korupsi tak pernah habis diberantas.
Korupsi di Indonesia boleh jadi telah menjadi persoalan struktural, kultural, dan personal, demikian dikutip dalam "Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah dan NU" (Mizan: 2010). Disebut struktural, seringkali korupsi ini menyangkut dengan birokrasi pemerintahan, tak terkecuali partai politik, pejabat militer, aparat hukum, kepala daerah, menteri, dan sebagainya.
Adapun dalam sudut padang kultural, korupsi bisa terjadi karena ada “kelaziman kolektif yang diterima”—padahal keumuman itu bukanlah sesuatu yang benar, tapi hanya karena “dibiasakan” oleh masyarakat.
Sementara itu, disebut sebagai personal, korupsi karena memang telah diniatkan dan dilakukan oleh pelaku. Oleh karenanya, korupsi ibaratnya telah manunggal menjadi kepribadian seseorang.
Ada anekdot yang berseliweran di medsos, kurang lebih, seperti ini “mengapa terhadap miras kita begitu keras memprotesnya, giliran terkait korupsi seperti diam saja.”
Gambaran tersebut mengingatkan kembali pada kata-kata Soe Hok Gie dalam sebuah esai pendek berjudul “Siapakah Saya?” puluhan tahun lalu.
Dalam esainya, dikutip dalam buku “Soe Hok Gie...Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya”, aktivis dan penulis di era pemerintahan Presiden Sukarno itu membuat sketsa tentang jati diri. “Orang Indonesia sekarang ini amat mudah merasionalisasikan keadaan,” tulisnya.
Rasionalisasi atau pembenaran seringkali menjadi trigger atau pendorong nyata seseorang ketika melawan korupsi. Maka, dalam teori korupsi yang dikemukakan oleh Donald R. Cressey, sosiologi Amerika Serikat, rasionalisasi (rationalization) merupakan bagian dalam Fraud Triangle Theory. Adapun dua faktor lain yaitu tekanan (pressure) dan kesempatan (opportunity).
BACA:
Dalam konteks rasionalisasi, seringkali, mereka yang melakukan korupsi karena ada pembenaran dalam diri mereka, seperti “gajiku kecil, amplop ini juga nilainya kecil” atau “uang ini kecil tidak merugikan negara”—yang lebih ekstrem, “semua orang di sini melakukannya, masa saya enggak boleh”. Di awal tahun baru, ini menjadi momentum #kawanaksi untuk terus beraksi dalam melawan korupsi.
Dalam buku populernya, “The 7 Habits of Highly Effective People”, Stephen R. Covey memberikan wejangan yang bagus terkait dengan pengembangan diri. Salah satunya, “be proactive” (bersikap proaktif).
Mengawali tahun ini, #kawanaksi bisa mengambil peran untuk menyadari bahwa korupsi itu buruk, korupsi itu jahat, dan merusak generasi bangsa. Maka, tekankan dalam pribadi, untuk terus memiliki tanggung jawab dalam menyuarakan aksi-aksi melawan korupsi.
Karena melawan korupsi tidak harus melalui aksi besar, bisa melalui jalur budaya, pendidikan, keagamaan, dan lainnya.
Dalam konteks pendekatan sosiokultural, #kawanaksi bisa melakukan gerakan sosial antikorupsi. Dikutip dalam buku “Koruptor Itu Kafir”, gerakan ini bisa diwujudkan, misal, mengampanyekan budaya malu bagi pelaku korupsi. Karena koruptor ini sudah tak memiliki rasa malu saat bertindak haram—malah tersenyum lebar ketika tertangkap kamera wartawan.
BACA:
Gerakan sosial-budaya lain, #kawanaksi bisa mengampanyekan pengucilan bagi setiap pelaku korupsi, melakukan sosialisasi bahaya korupsi, tidak membiasakan menyogok dalam pelayanan publik, melaporkan dugaan korupsi ke aparat hukum, membuat konten di media sosial, atau pemberian penghargaan bagi tokoh yang melawan korupsi.
Menyangkut sosialisasi bahaya korupsi, KPK telah banyak dibantu oleh penyuluh antikorupsi dan ahli pembangun integritas. Dengan jumlah lebih dari 3.800 orang, penyuluh antikorupsi memiliki peran efektif untuk melakukan gerakan sosial budaya dalam melawan korupsi.
Yuk, jangan pernah menyerah dalam pemberantasan korupsi. Jangan ada pembenaran pada sekecil apa pun korupsi. Satu kata: lawan![]