The spectacle is the leading production of present-day society.
(Tontonan adalah produksi utama dari masyarakat saat ini)
~ Guy Debord, pemikir dan kritikus asal Prancis dalam buku terkenalnya The Society of the Spectacle pada 1967 (diterjemahkan ke Inggris oleh Ken Knabb pada 2014)
ISTILAH “flexing” terdengar begitu populer di masyarakat sejak media sosial bertumbuh besar yang dibarengi kemunculan para pemengaruh (influencer).
Kata “flex” dalam bahasa Inggris berarti lentur (flexing: melenturkan); umum dipakai untuk menerangkan aktivitas yang berkaitan kelenturan badan, misal, membungkuk.
Namun, kata itu berkembang sebagai bahasa gaul atau slang di medsos, makna pun berubah. Kata flex atau flexing kemudian dipahami publik sebagai upaya pamer diri (show off) baik harta, prestasi, maupun capaian yang dimiliki seseorang.
Kamus daring Urban Dictionary memasukkan lema flexing dengan banyak definisi. Salah satunya, flexing disandingkan dengan bragging, yaitu tindakan membual atau omong besar penuh kesombongan soal harta dan kekayaan, seperti pakaian mahal, rumah mewah, atau sesuatu yang berharga.
Secara teori, tindakan flexing memiliki kemiripan dengan istilah “conspicuous consumption” (konsumsi mencolok) yang dikenalkan oleh Thorstein Veblen, sosiolog juga ekonom Amerika Serikat yang terkenal atas kritik sosial terhadap kapitalisme.
Kedua istilah itu sama-sama sebagai tindakan memamerkan status sosial kepada publik. Bedanya, flexing di era sekarang diberi jalan oleh keberadaan medsos. Sebelum medsos, orang memanfaatkan televisi sebagai cara menaikkan reputasi dan status sosial.
Flexing dan Teori Kelas Rekreasi
Dalam buku klasiknya, The Theory of the Leisure Class (1899), Veblen merekam fenomena sosial yang terjadi antara periode 1899 hingga akhir Perang Dunia I—dikenal Zaman Emas Amerika. Kala itu, orang-orang kelas atas bergaya hidup mewah dengan menonjolkan kepemilikan propertinya—di sinilah, Veblen menyebutnya “konsumsi mencolok” yang dilakukan oleh masyarakat “kelas rekreasi”.
Menurut Veblen, masyarakat kelas rekreasi ini mengalami evolusi dari tahun ke tahun, dari masa primitif hingga modern. Ada tiga faktor untuk melihat evolusi kelas rekreasi ini, antara lain (1) pekerjaan, (2) kepemilikan properti, dan (3) persaingan uang.
Di masa primitif, Veblen menyebutkan, upaya menunjukkan kelas sosial umumnya ditandai melalui persaingan atau perang. Lantaran mengandalkan standar ketahanan fisik, kelicikan, dan keterampilan bersenjata di komunitasnya, Veblen menjuluki mereka sebagai budaya barbarisme.
Memasuki era industri, status sosial ditandai dengan pekerjaan. Kelas rekreasi masa modern bukan orang-orang yang bekerja di sektor non-industri, justru frekuensi kerja mereka cenderung dikurangi.
Pendek kata, mereka memiliki lebih banyak waktu luang yang mencolok (conspicuous leisure), sebut Veblen. Yang termasuk golongan ini, yaitu pemerintah, militer, keagamaan, dan olahraga.
“Waktu luang yang mencolok adalah cara kelas rekreasi mengembangkan kehormatannya dengan tidak mengambil bagian dalam pekerjaan kasar dan terlibat dalam kegiatan rekreasi yang tidak produktif,” tulis Sophie Raine, PhD, dosen Universitas Lancaster saat mengulas teori Veblen, 7 Februari 2024, di Perlego.com.
Faktor kedua yang menentukan status sosial, menurut Veblen, bermula dari kepemilikan properti atau kekayaan.
Bentuk paling awal kepemilikan adalah kepemilikan perempuan oleh laki-laki. Kepemilikan ini biasa terjadi lewat perang dan persaingan antara kubu yang bertikai. Perempuan kala itu diibaratkan sebagai “piala” yang diperebutkan. Di sini, muncullah pernikahaan berbasis pemaksaan. “Bukti kekayaan yang diterima adalah kepemilikan banyak perempuan,” tulis Veblen.
Veblen menambahkan, dari kepemilikan perempuan itulah, konsep kepemilikan bergeser dan meluas secara sendirinya. Mulailah kelas rekreasi itu merambah kepemilikan produk-produk industri.
Setelah kepemilikan lewat perang dan perampasan luntur, cara utama kelas atas menunjukkan status sosial dan demi mendapatkan kedudukan yang layak dalam masyarakat, “Sarana (menjaga, red) reputasi ini digantikan dengan kepemilikan dan akumulasi barang-barang,” tulis Veblen.
Kuantitas akumulasi kemudian menjadi tolok ukur dengan alasan “... segala sesuatu yang melebihi jumlah normal,” kata Veblen, justru, “ini adalah hal yang memberikan jasa atau manfaat (bagi reputasi, red).”