SEJARAH mencatat pemberantasan korupsi di Indonesia telah dilakukan sejak masa Orde Lama.
Korupsi sebagai istilah hukum diadopsi pada 1957 melalui Peraturan Penguasa Militer tertanggal 9 April 1957 Nomor Nomor PRT/PM/06/1957.
Tak lama setelahnya, pemerintah mengubahnya menjadi peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat.
Aturan dalam bentuk undang-undang muncul tiga tahun kemudian, yaitu Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Diubah lagi dengan UU Nomor 3/1971 tentang Pemberantasan Tipikor.
Di masa selanjutnya, terdapat penyempurnaan peraturan tentang korupsi hingga terbitlah UU Nomor 31 tahun 1999 dan diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 yang dipakai saat ini.
Dari tahun ke tahun, korupsi tak pernah habis dibabat penegak hukum baik kepolisian maupun kejaksaan. Pada akhir Desember 2003, lembaga baru yang dikhususkan untuk menangani kasus korupsi lahir: Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sepak terjang KPK yang gigih memberantas korupsi menjadi harapan baru bagi rakyat. Dalam perjalanannya, KPK juga menghadapi problem, mendapatkan serangan dari para koruptor dan relasinya. Goncangan pun terjadi di tubuh komisi antirasuah ini.
Sebetulnya pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan oleh KPK semata-mata. Peran Kepolisian dan Kejaksaan juga sangat diharapkan.
Ketiga lembaga penegak hukum tersebut telah diatur dengan jelas masing-masing kewenangannya. Di sinilah, sinergisitas antarlembaga agar bisa mencegah dan menindak dugaan kasus korupsi.
Berdasarkan UU Nomor 19/2019 tentang KPK, kasus korupsi yang ditangani KPK hanya menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar dan melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang terkait korupsi.
Oleh karenanya, kerugian negara di bawah nilai Rp1 miliar, baik penyelidikan, penyidikan, maupu penuntutan diserahkan kepada Kepolisian dan/atau Kejaksaan. Tugas KPK adalah melakukan supervisi saja.
Ada tiga tugas pokok Polri berdasarkan Pasal 13 UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, antara lain (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, (b) menegakkan hukum, dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Terkait tugas pokok itu, berdasarkan Pasal 14, Polri bertugas menyelidiki dan menyidik terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan. Di sinilah, Polri berwenang menangani kasus korupsi sebagai tindak pidana
Di sisi lain, ada pula peran Kejaksaan. Kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi diatur dalam UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Disebutkan pada Pasal 30 huruf (d), tugas dan kewenangan jaksa adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, salah satunya UU Pemberantasan Tipikor.
Selain itu, dalam tindak pidana korupsi, jaksa juga berperan penting untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka korupsi.
Selain menindak, KPK juga memiliki tugas edukasi dan pencegahan tentang korupsi. Saat ini, KPK sedang gencar-gencarnya melakukan kegiatan edukasi dan pencegahan korupsi.
Untuk melaksanakan tugas atau pendekatan yang dipakai KPK saat ini, dikenal dengan Trisula Pemberantasan Korupsi (Sula Pendidikan, Sula Pencegahan, dan Sula Penindakan), KPK tak bisa sendirian. Butuh adanya kolaborasi dalam pemberantasan korupsi.
Siapa saja? Semua pihak di masyarakat. Masyarakat harus turut membantu dan aktif dalam mengawasi dan melaporkan adanya dugaan korupsi.
Salah satu yang bisa dilakukan yaitu menjadi penyuluh antikorupsi (Paksi). Menjadi penyuluh ini tidaklah sembarangan. Harus melalui proses sertifikasi yang diadakan oleh LSP KPK. Nanti, penyuluh bersertifikasi ini memiliki kompetensi untuk membantu KPK dalam menyebarkan nilai-nilai integritas, sebagai upaya edukasi terhadap korupsi dan bahayanya.