Bagi Suyudi, pagi itu terasa berbeda. Udara terasa hangat walaupun waktu masih menunjukkan pukul tujuh. Seperti biasa, sebelum berangkat menuju pengadilan negeri, tempatnya bekerja, Suyudi duduk-duduk di teras rumah. Ia bersandar pada kursi kayu mahoni kesayangannya. Matanya tertuju ke depan kandang burung yang digantung dekat pagar rumahnya. Matanya berusaha memandang dua ekor poksai kesayangannya yang sudah ramai bercengkerama.
Sejak tiga tahun lalu, Suyudi tak bisa memandang jelas dalam jarak pandang radius dua meter. Pandangannya buram, padahal usianya baru lebih dua tahun dari setengah abad.
Suyudi memiliki kelainan bawaan pada kornea matanya. Kelainan ini sudah terdeteksi sejak dua tahun lalu ketika Suyudi akan menjalani operasi katarak. Dokter spesialis mata yang menanganinya mengatakan, Suyudi memiliki kelainan pada endothelium, sebuah lapisan tipis di bagian dalam kornea yang berfungsi mengeluarkan cairan dari kornea.
“Kornea mata Bapak harus menahan terlalu banyak cairan karena endothelium. Hal inilah yang jadi penyebab ketajaman penglihatan Bapak terus menurun. Jika dibiarkan, dalam kurun lima tahun ke depan, ketajaman penglihatan Bapak bisa turun sebanyak 40 persen.”
Ketika itu dokter mengatakan, satu-satunya upaya penyembuhan yang dapat dilakukan adalah transplantasi kornea. Mendengar kata transplantasi, Suyudi bagai mendengar bunyi keras yang bergaung masuk ke dalam sumur tanpa dasar.
Terngiang ucapan dokter spesialis saat ia bertanya tempat pengobatan mata yang dapat didatanginya.
“Bapak bisa mendapatkan pengobatan di Singapura, Australia, Jerman, atau Belanda. Terutama di Rotterdam, ada klinik pribadi khusus untuk kornea. Klinik tersebut milik ahli transplantasi kornea yang mengembangkan metode paling mutakhir dan reputasinya sangat bagus. Namun, jika terlalu jauh, Bapak dapat pergi ke Singapura. Di sana juga ada profesor doktor ahli transplantasi kornea yang terkenal.”
“Mengapa harus ke luar negeri, Dok? Apa di Indonesia tak ada yang mampu melakukannya?”
“Sayang sekali, Pak.., di Indonesia belum ada transplantasi untuk jenis kelainan kornea seperti yang Bapak alami. Sebenarnya Bapak tidak usah terburu-buru. Usia Bapak kan terbilang masih muda. Lagi pula ini bukan kondisi darurat. Bapak bisa menabung dulu sampai memiliki cukup dana untuk melakukannya,” terang dokter spesialis mata tersebut menenangkannya.
“Ah, biaya dari mana saya, Dok… Biarlah nasib saja yang menentukan pandangan mata saya ini,” ucapnya pelan. Tidaklah berlebihan jika Suyudi bersikap seperti itu.
Tidak masuk akal baginya berobat ke luar negeri yang biayanya bisa mencapai miliaran rupiah. Suyudi tidak memiliki uang sebanyak itu. Suyudi merasa tidak mampu.
Sebagai hakim utama tingkat IA, gajinya memang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, sejak tahun lalu, pemerintah juga menaikkan gaji seluruh hakim. Suyudi sangat mensyukuri gajinya sekarang. Dengan gaji itu, dia pikir cukup untuk menyekolahkan keempat anaknya hingga menjadi sarjana dan menyenangkan istrinya. Namun, jikapun gajinya dikumpulkan dalam satu tahun, itu masih sangat kurang untuk biaya berobat ke luar negeri.
Suyudi bertekad untuk memendam semua harapan memiliki pandangan mata yang normal kembali. Lebih baik melupakannya dan membiarkan pandangannya tertutupi perlahan oleh usia yang terus merambat. Biar saja, batin Suyudi. Ia pun segera beranjak dari tempat duduknya dan bersiap menuju pengadilan negeri. Matahari di hadapannya telah memancarkan sinarnya dengan cerah.
***