Wahyu Dewantara Susilo, Spesialis Monitoring KPK, mengatakan bahwa per definisi konflik kepentingan bersifat netral. Konflik kepentingan muncul ketika terjadi pertentangan antara pelaksanaan tugas dan kepentingan pribadi yang memengaruhi penilaian atau keputusan yang akan dibuat. Pada titik ini, lanjut Wahyu, keputusan belum dibuat dan pelanggaran belum terjadi. Pejabat harus dapat mengelola konflik kepentingan itu sehingga tidak menjadi tindak korupsi.
"Pejabat atau pegawai mesti tahu apa yang harus dilakukan pada titik ini. Konflik kepentingan yang tidak ditangani dengan baik dapat berujung pelanggaran etika, administratif, bahkan pidana," kata Wahyu dalam perbincangan dengan ACLC.
Konflik kepentingan bisa menjadi penyebab atau akibat dari korupsi. Misalnya dalam beberapa kasus, konflik kepentingan berawal berawal dari pemberian gratifikasi atau suap yang bisa memengaruhi penilaian atau keputusan pejabat. Ketika keputusan diambil akibat pemberian tadi, maka pelanggaran telah terjadi.
"Potensi dampak kerugian pelanggaran konflik kepentingan bisa memiliki dimensi yang lebih luas meliputi aspek etika, administrasi hingga pidana," kata Wahyu.
"Mengapa konflik kepentingan berbahaya? Karena adanya risiko kepentingan publik tergadaikan dalam keputusan-keputusan yang seharusnya dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," lanjut dia.
Konflik kepentingan juga bisa terjadi dalam bentuk lain. Misalnya penggunaan aset mobil dinas untuk kepentingan pribadi seperti mudik hari raya, menyebarkan informasi rahasia perusahaan untuk keuntungan pribadi, pemberian akses khusus kepada pihak tertentu, atau menentukan besaran gaji atau remunerasi diri sendiri karena memang memiliki kemampuan untuk itu.