Belajar dari keluarga
Daya juang, adaptasi, dan cara bertahan hidup bersama madrasah itu sedikit banyak juga pengaruh didikan keluarganya. Septian lahir pada 1995 di Gorontalo sebagai anak bontot dari lima bersaudara. Ia sempat tinggal di Jakarta karena orangtuanya berpindah-pindah untuk urusan usaha.
Dari situlah, ia banyak meniru kemandirian dan bagaimana gaya orangtuanya bergaul.“Mungkin karena saya tipe ambivert, ya,” tutur Septian, “Jadi, segala situasi saya anggap tantangan dan saya harus beradaptasi.”
Sikap mandiri dan disiplin itu pula yang ditekankan Septian dkk saat mengajar di madrasah—ia meyebutnya pembangunan karakter. Saat itu ia belum mengenal pendidikan antikorupsi seperti yang diterapkan di Az-Zahra.
Membawa bekal banyak pengalaman dari “atas bukit”, ia berlabuh di sekolah dasar di kota. “Teman-teman di Az-Zahra sudah tahu rekam jejak saya sebagai kepala madrasah. Jadi, saya diajak untuk menerapkan praktik baik yang pernah saya lakukan sebelumnya,” jelas Septian.
Pada 2021, setelah dua tahun menjadi kepala sekolah Az-Zahra, ia menerapkan pendidikan antikorupsi. Berkat dukungan SPAK (Saya Perempuan Antikorupsi) Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Selandia Baru, dijalankan program “Sekolah Kejujuran, Sekolah Saya”.
Sebelum program itu berjalan, pada 2020 ia merasakan kala itu sebagai masa-masa “berat” untuk memulai pendidikan antikorupsi, misalnya, terkait pelarangan terima gratifikasi.
Tapi, ia tetap jalan. Iis yang menentang progam itu justru dipilihnya sebagai guru “coaching” pendidikan antikorupsi. Dibuatlah program integritas yang menitikberatkan kejujuran dan tanggung jawab.
“Kami buat program nilai kejujuran, seperti say no to bullying. Ada aktivitas peserta didik menjadi semacam "mata-mata" untuk melaporkan siswa yang melanggar peraturan,” katanya. Hasilnya, Rapor Pendidikan, terutama indikator iklim kebinekaan dan indikator karakter yang awalnya merah pada 2021, berubah menjadi hijau pada 2022.
Az-Zahra juga menerapkan “Jendela Integritas” yang mencatat pelaporan penerimaan gratifikasi. Dari laman web itu, siapa pun bisa melihat apa saja hadiah-hadiah yang diterima oleh sejumlah guru. Sebelum adanya progam itu, tim harus menanyakan apa saja barang-barang yang diterima, tapi kini para guru dengan kesadaran sendiri melaporkan penerimaan gratifikasi.
Barang-barang itu kemudian dipajang di sekolah, serta ditulis nama penerima, pemberi, dan tanggal berapa diterima. “Kalau guru itu memaksa untuk mengambil, kami berikan kesempatan, tapi dengan catatan ada nilai harganya. Berikan harga, uangnya nanti akan dikumpulkan,” katanya.
Seandainya sudah ada uang yang terkumpul, lanjutnya, kemungkinan besar uang itu untuk pembangunan sekolah. Namun, sejauh ini belum ada guru yang “membelinya”.
Ketika Az-Zahra terpilih dalam program ACA KPK, Septian mengaku sangat bersyukur. Karena memang itu yang ia harapkan untuk memperkuat program sekolahnya. “Banyak hal baru yang saya dapatkan, salah satunya tentang kedisiplinan dan tanggung jawab,” ujarnya.
“Saya melihat dalam kegiatan itu, kita benar-benar diajarkan disiplin, menghargai waktu. Datang tepat waktu, selesai juga tanpa menambah waktu. ACA sudah memberikan dampak baik.”
Terkait dengan tanggung jawab, menurutnya, ACA mengajarkan bagaimana mengelola uang negara yang fokus pada tujuan kegiatan. Dari acara itu pula, ia mengaku, menjadi tahu tentang daya dukung ekosistem dan tata kelola pendidikan antikorupsi.
Menurutnya, kedua dimensi ini sangat erat kaitannya dengan dimensi karakter. Selama ini, Az-Zahra hanya fokus pada dimensi karakter. Padahal, lanjutnya, nilai karakter akan sulit diubah tanpa dibantu oleh ekosistem dan tata kelola yang baik.
“Yang kami bawa dari ACA kemarin itu benar-benar komplit. Ibarat makanan 4 sehat 5 sempurna,” katanya.[]