oleh
M. Indra Furqon
Widyaiswara Ahli Madya KPK
SERINGKALI pegawai negeri atau penyelenggara negara, jika menerima hadiah dari masyarakat atau vendor, berkilah: “Mengapa dilarang? Yang penting tidak merugikan siapa-siapa, bahkan tidak ada kerugian keuangan negara.”
Atau, berpendapat: “Hadiah-hadiah yang diterima toh berasal dari anggaran vendor atau dari kantong pribadi masyarakat, tidak mengambil dari APBN atau APBD.”
Ada juga yang berkilah bahwa mereka diberi hadiah tanpa harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sehingga tidak mempengaruhi atau merubah keputusan atau mempengaruhi kewenangan mereka. Sebagian lagi berkilah ini murni atas dasar tanda terima kasih dan wujud keihklasan semata, tanpa diminta dan tanpa paksaan.
Semua alasan pembenaran itu dapat dijawab dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi gratifikasi diatur dalam Pasal 12B dan Pasal 12C. Kedua pasal tersebut tidak menyebutkan unsur pidana merugikan keuangan negara. Terkait unsur kerugian negara hanya terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3.
Unsur pidana gratifikasi juga tidak mensyaratkan adanya meeting of mind atau kesepakatan antara pihak pemberi dan penerima, di mana diharapkan penerima melakukan atau tidak melakukan sesuatu atas pemberian tersebut. Terkait dengan “melakukan sesuatu”, hal tersebut masuk unsur tindak pidana korupsi penyuapan yang diatur, di antaranya pada Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 11.
SERIAL TERKAIT:
Jika penerimaan gratifikasi, terdapat unsur permintaan dengan paksaan, maka hal ini telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi pemerasan yang diatur dalam Pasal 12 huruf (e), (f), dan (g)—perlu digaribawahi bahwa gratifikasi juga tidak mensyaratkan adanya paksaan.
Oleh karenanya, sangat penting bagi kita untuk memahami apa saja tindak pidana korupsi dan unsur-unsur pidana yang menyertainya.
Sejatinya memang gratifikasi itu adalah hadiah.