oleh
M. Indra Furqon
Widyaiswara Ahli Madya KPK
KEBIASAAN memberikan oleh-oleh kepada teman, sahabat atau keluarga sebetulnya merupakan salah satu tradisi budaya ketimuran Indonesia yang baik dan luhur.
Saling tolong menolong, bergotong royong dan berbagi hadiah merupakan kepribadian bangsa yang wajib dilestarikan. Akan tetapi, ketika hal ini masuk ke ranah pemberian hadiah oleh-oleh kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, inilah gratifikasi berkedok budaya timur
Apalagi anggarannya menyalahgunakan keuangan negara atau daerah, penggelapan, bahkan melakukan pemerasan.
Jika semua itu terjadi, timbullah kerusakan-kerusakan baru dari kebiasaan oleh-oleh bagi pegawai negeri dan penyelenggara negara dalam kunjungan kedinasan ini.
Perlu digarisbawahi bahwa yang terlarang bukan pemberian oleh-oleh secara mutlak di masyarakat. Namun, pada tidak adanya alokasi anggaran oleh-oleh.
Dalam setiap perjalanan dinas, seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara akan dibekali surat tugas. Dalam surat tersebut tertera sumber anggaran kegiatan dan sejumlah nama yang akan mendapat uang saku sesuai dengan Standar Biaya Umum (SBU).
SERIAL TERKAIT:
Uang saku itulah hak pegawai yang melaksanakan perjalanan dinas untuk menunjang kegiatan penugasannya. Dengan uang saku itu, mereka bisa digunakan untuk uang makan, transportasi lokal dan membeli oleh-oleh.
Sepatutnya pegawai negeri dan penyelenggara negara gunakan uang saku ini untuk membeli oleh-oleh, jika mau, dan tidak ada alasan untuk membebankannya kepada keuangan negara atau keuangan daerah.
Tidak sepantasnya oknum-oknum di pemerintahan yang telah mendapatkan gaji, yang berasal dari pajak rakyat, membebankan kepentingan pribadi kepada anggaran negara demi memperkaya dan menguntungkan diri sendiri.