oleh
M. Indra Furqon
Widyaiswara Ahli Madya KPK
KARENA tidak ada mata anggaran untuk oleh-oleh bagi pegawai negeri dan penyelenggara negara dalam kunjungan kedinasan, sebagian instansi tuan rumah justru “terjatuh” dalam penyimpangan dan penyalahgunaan anggaran.
Mata anggaran yang dipakai tersebut yaitu anggaran jamuan makan yang seharusnya untuk dipakai membeli hidangan yang disantap di tempat.
Bahkan, penyimpangan anggaran jauh lebih parah dengan mengubah definisi “makanan dan minuman” menjadi bentuk batik, kain, tas, hiasan, kerajinan tangan dan sebagainya.
Sejauh pengetahuan dan pengamatan saya, ide “pencarian” anggaran oleh-oleh tidak hanya dari penyimpangan anggaran jamuan tamu, tetapi sebagian dari mereka mencari anggaran dengan perbuatan curang hingga penggelapan.
SERIAL TERKAIT:
Perbuatan curang itu dengan memalsukan kuitansi-kuitansi kegiatan, baik dari kegiatan yang memang benar ada, tapi digelembungkan (mark-up) maupun kegiatan yang tidak pernah ada, tapi seolah-olah sudah dilaksanakan dan disusun laporan pertanggungjawabannya.
Ada pula sebagian oknum pegawai negeri mengaku dan mengklaim perjalanan dinas fiktif, baik berupa penambahan jumlah hari dari yang sebenarnya maupun sebenarnya tidak pernah ada perjalanan dinas yang dimaksud.
Penggelembungan biaya kegiatan atau perjalanan dinas fiktif dan kuitansi-kuitansi palsu dijadikan salah satu sumber anggaran yang ditampung dalam pos “dana taktis” di bendahara.
Dari dana taktis tersebutlah anggaran untuk membeli oleh-oleh diambil. Maka, berputarlah dari satu tindak pidana korupsi ke tindak pidana korupsi lainnya.
Selain itu, ternyata ada sumber dana lain yang biasa digunakan untuk alokasi oleh-oleh dalam kunjungan kedinasan. Jika dua sumber anggaran sebelumnya menyebabkan kerugian keuangan negara atau daerah, sumber dana untuk oleh-oleh berikut ini lebih menyedihkan karena “mengambil hak orang lain dengan paksa”.
Sebagian pemangku kebijakan mengeluarkan perintah “pemotongan atau pungutan dari honor kegiatan yang menjadi hak pegawai”.
Tetesan keringat dan pengorbanan waktu, pikiran dan tenaga pegawai untuk menyelesaikan pekerjaan dalam suatu kegiatan, justru dipotong, dirampas paksa, dan uangnya dikumpulkan di bendahara dalam pos dana taktis.
Perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi pemerasan. Lebih nista lagi pemerasan dilakukan kepada bawahannya, kepada orang-orang yang seharusnya dipikirkan kesejahteraanya, dijaga semangat kerjanya, bukan malah dijerumuskan, diganggu ekonomi keluarganya dan dihancurkan idealisme dan semangat kerjanya.
Semua itu dilakukan salah satunya untuk menjadi sumber dana kebiasaan yang tidak penting: oleh-oleh.
Pemerasan untuk mencari dana oleh-oleh juga dilakukan kepada vendor atau pengusaha yang sering berhubungan dengan instansi pemerintahan.
Dengan tanpa malu-malu lagi, pegawai negeri atau penyelenggara negara meminta jatah atau meminta dikirim produk hasil usaha mereka untuk dijadikan buah tangan dalam kunjungan kedinasan.
Sebagian dari mereka berdalih, cara tersebut bagian dari media promosi pengusaha dalam memasarkan produk usaha mereka. Namun, jika mau jujur, berapa besar peningkatan penjualan produk setelah diminta paksa oleh oknum pegawai negeri dan penyelenggara negara dengan dalih promosi? []