HAJAR serangan fajar! Tolak segala bentuk apa pun yang mempengaruhi pilihan Anda mencoblos pada pemungutan suara Pemilu 2024 pada Rabu, 14 Februari.
Komisi Pemberantasan Korupsi mengingatkan “
serangan fajar”—politik uang—adalah bentuk suap-menyuap. Inilah
akar dari kasus korupsi. Jika kita masih permisif terhadap politik uang, harapan terhadap sistem pemerintahan dan lainnya bersih dari korupsi kian sulit.
Pada Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu
menangkap tangan 25 kasus politik uang yang dilakukan selama masa tenang. Kasus ini tersebar di 13 provinsi. Beragam jenis barang yagn diberikan partai politik/kandidat kepada pemilih, seperti sembako, deterjen, dan uang tunai. Temuan uang paling banyak didapat di Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Sumatera Utara dengan jumlah uang Rp190 juta.
Penyebab politik uang masih terjadi
Kurangnya pemahaman masyarakat terkait dengan batasan praktik politik uang dan bahaya yang ditimbulkannya menjadi salah satu penyebab berkembangnya praktik politik uang di Indonesia.
“Kondisi tersebut diperparah dengan sistem hukum Indonesia yang seolah tidak mampu menjerat praktik politik uang. Untuk itu pendidikan pemilih penting dilakukan untuk meng-counter praktik politik uang di Indonesia,” tutur
Mada Sukmajati, dosen Ilmu Politik Fisipol Universitas Gadjah Mada.
Setidaknya ada tiga faktor penyebab terjadinya politik uang, selain faktor ekonomi, antara lain:
- Faktor politik. Politik uang terjadi karena calon legislatif hanya ingin menang tetapi tidak memiliki program, sedangkan partai politik sebatas membantu pencalonan saja.
- Faktor hukum. Lemahnya regulasi tentang politik uang. Hanya hanya pemberi politik uang yang disanksi, padahal penerima juga bersalah.
- Faktor budaya. Ada kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia, yakni tidak pantas jika menolak pemberian dan terbiasa membalas pemberian. Instrumen kultural ini dimanfaatkan oleh politisi untuk menjalankan politik uang.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dalam Konferensi Pers Kinerja KPK Semester I 2023 di Gedung KPK, mengatakan penyebab politik uang masih terus terjadi karena 50 persen masyarakat Indonesia belum sejahtera dan lebih dari 50 persen dengan tingkat pendidikannya belum baik.
Kondisi kesejahteraan masyarakat yang masih rendah dapat menyebabkan banyaknya masyarakat yang menerima politik uang karena dianggap sebagai rezeki. Padahal, uang yang dibagikan dalam serangan fajar bisa saja hasil korupsi.
Masih ingat kasus anggota Komisi VI DPR Bowo Sidik Pangarso? Ia ditangkap oleh KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 27 Maret 2019, selama masa kampanye pemilu. Kala itu Bowo mencalonkan diri sebagai caleg Partai Golkar untuk Dapil Jawa Tengah II (Demak, Jepara, Kudus). Awal Desember 2019, Bowo divonis lima tahun bui dan dicabut hak politiknya empat tahun atas perbuatannya menerima suap dan gratifikasi. Uang tersebut dikumpulkan Bowo untuk tujuan amunisi “serangan fajar” pemilu.
Meminimalkan politik uang
Menghilangkan politik uang bukan hal mudah, butuh proses panjang. Menurut Mada Sukmajati, politik uang bisa dilawan dengan solusi jangka panjang dan jangka pendek. Solusi jangka panjang, yaitu strategi budaya atau memasukkan materi politik uang ke submateri antikorupsi dalam kurikulum sekolah.
Adapun jangka pendek, antara lain Bawaslu aktif mengawasi pemilu, pemilih bersikap partisipatif selama proses pemilu, sesama peserta pemilu dapat saling mengawasi, termasuk saling mengawasi antarpeserta pemilu dari partai yang sama.
Berikut ini beberapa yang bisa dilakukan untuk menekan terjadinya politik uang:
Bangun parpol berintegritas
Partai politik merupakan langkah awal bagi masyarakat Indonesia untuk terjun ke dunia politik. Jadi, untuk menciptakan sistem pemerintahan yang bersih, harus diawali dari menciptakan partai politik yang berintegritas.
Program
Politik Cerdas Berintegritas (PCB) merupakan upaya KPK menciptakan politik yang bersih dari korupsi dengan mengedukasi partai politik di Indonesia untuk menguatkan budaya dan sistem antikorupsi di tubuh parpol. Selain itu, KPK juga menyediakan buku saku
Sistem Integritas Partai Politik yang dapat dijadikan acuan parpol untuk menciptakan sistem tata kelola parpol yang berintegritas.
Edukasi politik
Berdasarkan data LIPI pada Pemilu 2019, sebanyak 47,4 persen responden membenarkan adanya politik uang dan 46,7 persen responden menganggap hal wajar. Sementara hasil kajian KPK terkait politik uang, sebanyak 72 persen responden pemilih menerima politik uang dan 82 persen di antaranya perempuan dengan rentang usia di atas 35 tahun.
Penyebab mereka menerima politik uang karena ekonomi, tekanan pihak lain, permisif terhadap sanksi, dan tidak tahu mengenai politik uang.
Untuk mencegah hal serupa terjadi pada pemilu 2024, KPK mengajak Bawaslu, KPU, meluncurkan kampanye Hajar Serangan Fajar. Program ini turut didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika yang turut memanfaatkan seluruh medianya untuk mengedukasi masyarakat agar menolak politik uang.
Tindak pelaku politik uang
Salah satu strategi utama mencegah terjadinya korupsi, termasuk politik uang, adalah pemberian hukuman untuk memberi efek jera. Dua pasal yang bisa menjerat pelaku politik uang yaitu Pasal 515 dan Pasal 523 Ayat (3) Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Mari kita tolak politik uang secara tegas. Dengan menolaknya, kita berperan menciptakan pemilu yang bebas korupsi dan berharap pada berjalannya sistem pemerintahan yang lebih bersih.
#KawanAksi yang ingin mempelajari lebih dalam mengenai politik uang, serta berbagai hal seputar antikorupsi dapat mengunjungi website ACLC KPK untuk mendapatkan berbagai modul yang sesuai dengan kebutuhan #KawanAksi.*