KOMISI Pemberantasan Korupsi terus mengampanyekan pentingnya nilai-nilai integritas diterapkan di kehidupan sehari-hari.
Terdapat 9 Nilai Integritas yang dikenalkan lewat akronim “Jumat Bersepeda KK”, yaitu jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras.
Mengimplementasikan nilai-nilai integritas tersebut diharapkan menjadi benteng agar seseorang tidak berbuat korupsi.
Perilaku koruptif adalah tindakan yang melanggar kode etik atau norma meski tidak sampai berujung pada pelanggaran hukum. Namun, perilaku ini sebetulnya biang dari perilaku tercela, seperti korupsi di kemudian hari.
Misal, mencontek saat ujian sekolah. Praktik curang ini bisa membentuk karakter siswa menjadi tidak jujur dan bertanggung jawab. Pembenaran terhadap kecurangan kecil berpotensi membiarkan kecurangan dalam hal besar.
Di era digital seperti sekarang, ada tiga hal populer di kalangan warganet, antara lain fear of missing out (FOMO), flexing, dan shopaholic. Ketiga hal ini jika tidak dikendalikan, bisa-bisa mempengaruhi seseorang bertindak koruptif, bahkan melanggar hukum.
FOMO
Istilah ini muncul dan ramai menjadi perbincangan warganet, terutama terkait dengan hal-hal baru atau yang sedang menjadi tren. Entah itu konser, film, pameran seni, gawai, dan lain-lain.
Tak sedikit orang menonton konser atau membeli gawai karena kebutuhan, tapi sebatas ikut-ikutan karena khawatir ketinggalan momen. Seseorang yang mengidap FOMO akan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain karena memiliki tingkat kepuasan hidup yang rendah.
Meski FOMO bisa terjadi pada segala usia, remaja adalah kalangan yang paling rentan mengalaminya. Salah satu penyebabnya yaitu tak ingin ketinggalan informasi atau pengalaman dari teman-temannya. Dan, media sosial adalah pemicu paling besar terhadap FOMO saat ini.
Peneliti menganalisis data baik menggunakan pendekatan statistik standar maupun menerapkan algoritma pembelajaran mesin ke informasi. Hasilnya, peneliti menemukan hubungan antara FOMO dan hampir semua perilaku buruk yang diperiksa oleh tim.
Tingkat FOMO yang lebih tinggi menunjukkan tingkat ketidaksopanan di kelas, plagiarisme, peningkatan konsumsi alkohol, minum alkohol di usia yang lebih muda, serta peningkatan penggunaan ganja, depresan, dan halusinogen.
Berbagai perilaku negatif tersebut menunjukkan, FOMO dapat menjadi pemicu perilaku nirintegritas atau koruptif, bahkan riset itu juga menyimpulkan tingkat FOMO yang tinggi juga memiliki hubungan dengan kejahatan, seperti mendistribusikan narkoba dan mencuri.
Flexing
Pada dasarnya, flexing atau pamer adalah sifat dasar manusia yang ingin pamer, menunjukkan keberhasilan atau sesuatu yang dimilikinya kepada orang lain. Perilaku ini kian populer, bahkan dianggap biasa oleh sebagian masyarakat sekarang, seakan-akan ada pembenaran lantaran adanya media sosial.
Tak sedikit pejabat dan keluarganya memamerkan barang-barang berharga, seperti tas, pakaian, sepeda motor, mobil, aktivitas kuliner atau wisata, dan lain-lain di akun media sosialnya, alih-alih menunjukkan kinerjanya.
Memang tidak ada hukum yang mengatur larangan untuk melakukan flexing, tapi dalam ajaran agama Islam, pamer termasuk bentuk dari buruknya akhlak; bertentangan dengan sikap tawadhu (rendah hati).
Kebiasaan mamerkan barang kepada publik juga bisa memicu orang berbuat tidak etis, bahkan korupsi. Kasus flexing yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio di media sosial, berupa mobil dan motor mewah, ternyata mengungkap borok korupsi yang dilakukan oleh ayahnya, Rafael Alun Trisambodo. Saat menjadi pejabat eselon III di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Rafael menerima gratifikasi selama 12 tahun. Gratifikasi adalah salah satu dari jenis korupsi.
BACA:
Umumnya perilaku flexing terjadi di kalangan orang yang baru saja mendapatkan atau mengalami perubahan atau kenaikan status sosial secara drastis. Mereka cenderung konsumtif demi status sosial.
“
Flexing itu 80–90% cerminan dari ketiadaan integritas, empati sosial, keberpihakan terhadap publik dan jabatannya, serta kurangnya penjiwaan terhadap profesi yang diemban,” ujar Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Rhenald Kasali.
Shopaholic
Shopaholic adalah salah satu jenis gangguan psikologis yang membuat seseorang melakukan pembelian kompulsif. Orang yang mengalami shopaholic akan membeli barang untuk memuaskan perasaannya dan menghilangkan perasaan negatif, bukan karena membutuhkan barang yang dibelinya.
Seseorang yang mengalaminya sangat rentan mengalami masalah keuangan. Fenomena kartu kredit atau pinjaman online makin memudahkan mereka memuaskan diri, tanpa sadar bahwa mereka sedang menjatuhkan diri ke lubang masalah jika tidak bisa mengontrolnya.
Kondisi belanja berlebihan ini bisa memicu terjadinya perilaku ilegal lain. Contoh, pada 2001
Elizabeth Roach, pegawai Andersen Consulting, yang sekarang dikenal sebagai Accenture, menggelapkan uang kantor hampir US$250.000. Uang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan belanjanya. Akibatnya, Elizabeth harus menjalani hukuman penjara meski akhirnya dibebaskan karena terbukti mengalami gangguan psikologi shopaholic yang parah.
Kuncinya adalah sederhana
Munculnya ketiga perilaku di atas karena sebagian orang memiliki pandangan hidup bahwa uang adalah segalanya. Karena untuk memenuhi kebutuhan FOMO, flexing, dan shopaholic tentunya butuh sumber dana yang tak sedikit.
Agar tidak terjebak dalam pandangan itu, penting bagi seseorang untuk menjalani hidup dengan sikap sederhana. Sikap kesederhanaan ini telah ditunjukkan tokoh bangsa kita, seperti Jenderal Hoegeng, M. Natsir, dan Ki Hadjar Dewantara.
BACA:
Mereka adalah orang-orang yang sangat rendah hati dan sederhana dalam hidupnya meski sebetulnya mereka mampu dari segi harta.
Yuk, perlahan benahi diri agar tidak terjebak dari ketiga hal itu. Untuk para orangtua, mari kita tanamkan nilai-nilai integritas atau antikorupsi pada anak sejak dini. Situsweb ACLC KPK menyediakan berbagai sumber terkait nilai-nilai antikorupsi dalam bentuk film/video, buku cerita, maupun lagu. [*]