Pembuka jalan di Lapangan Ikada
Rapat raksasa bersejarah itu terjadi pada 19 September 1945. Puluhan ribu rakyat berkumpul di Lapangan Ikada—sekarang Monas. Mereka menunggu para pemimpin seperti Sukarno dan jajaran kabinetnya datang.
Namun, ada yang mempertimbangkan agar hati-hati karena tentara Jepang siap menghalau dan menembak rombongan—karena ini kali pertama pemerintah Indonesia menyatakan kemerdekaannya kepada rakyat dan dunia internasional; jangan sampai ada pertumpahan darah.
Di antara keragu-raguan itu, muncul tiga menteri secara sukarela menyatakan diri hendak menjadi pembuka jalan, menembus barikade Jepang. Mereka Achmad Subarjo (Menlu), Iwa Kusumasumantri (Mensos), dan Ki Hadjar Dewantara (Menteri Pengajaran).
Sekretaris Negara kala itu AG Pringgodigdo menyela. “Ingat Ki Hadjar, Ki Hadjar kan sudah tua,” tuturnya seperti ditulis Bambang Sokawati.
“Justru karena itulah, mati pun tak mengapa,” jawab Ki Hadjar.
Bunga Kantil dan kemandirian
Ada satu cerita yang dituturkan oleh Bambang Sokawati, bahwa ayahnya tak suka dengan kembang atau bunga Kantil.
Ini bukan perkara klenik atau mistis. Ki Hadjar justru orang yang berpikir maju, ia sama sekali menolak budaya tahayul yang masih kuat di lingkup keraton.
Ia tak suka kantil karena kata “kantil” dalam bahasa Jawa berarti “lekat, lengket, atau nempel”. Makanya, ia pernah bekata kepada keluarganya, “Kelak kalau aku sudah mati, jangan kalian taburkan bunga kantil di atas makamku,” katanya.
Makna simbolik itu, menurut Bambang, yang ditolak oleh ayahnya. Sebab, selama ini perjuangan Ki Hadjar selalu menekankan prinsip hidup merdeka dan mandiri.
“Karena bunga kantil melambangkan ketergantungan yang bertentangan dengan prinsip hidup merdeka dan mandiri, maka bapak tak menyukai bunga itu,” tutur Bambang.
Ki Hadjar selalu menekankan kepada murid-muridnya agar jangan “kemantil-mantil” (terlalu lengket) kepada dirinya sehingga menjadi pengkultusan individu.
Suatu kali, Ki Hadjar pernah dengan tegas mengatakan, bubarlah Tamansiswa setelah dirinya mati jika para muridnya terlalu mendewa-dewakan dirinya.
Bersahaja sampai akhir hayat
Ki Hadjar menghembuskan napas terakhir pada 26 April 1959. Koran-koran dan majalah akhir bulan itu menulis kepergian sang peletak dasar pendidikan nasional.
Tergambar dalam laporan koran Nasional, Kamis (30 April 1959), ribuan orang berjejal-jejal memberikan penghormatan terakhir. Masa berkabung diputuskan selama sepekan hingga 2 Mei. Rakyat diminta mengibarkan bendera setengah tiang.
Majalah Hidangan menuliskan dalam In Memoriam-nya, “Ki Hadjar Dewantara, sampai saat terakhir tetap sederhana”.
Begitulah, ia adalah pribadi yang konsisten, sosok yang terus berusaha memberi teladan. “Sebagai pejabat negara, ia tak sungkan membeli perabotan bekas dari teman atau pelelangan,” tulis Suprapto Rahardjo.
Rumah Ki Hadjar di Yogyakarta juga didesain untuk menampung masyarakat, terbuka bagi siapa saja. Ia menaruh pesawat telepon miliknya di teras rumah. Alasannya agar bisa dipakai banyak orang. Jika ada telepon untuk tetangganya, Bambang-lah yang selalu mendapat tugas menyampaikan pesan.
Bahkan, ia sendiri berpesan kepada anaknya, Bambang, sepekan sebelum dirinya meninggal. Ia meminta agar anaknya tak usah menulis buku biografinya. Biarkan orang lain yang menulis dan bantulah mereka.
“Tapi, jangan sekali-kali mempengaruhi baik pandangan atau penilaian orang. Setiap orang berhak berbeda pendirian, sikap, dan penilaian tentang bapak. Jangannlah beringas atau berkecil hati kalau ada yang menilai negatif atua mengkritik bapak…” ujar Ki Hadjar.
Ada cerita menarik lain tentang kebersahajaan keluarga Ki Hadjar. Tradisi makan bersama keluarga selalu dilakukan Ki Hadjar. Menunya pun seadanya. Di meja makan itu, ia selalu bercerita kepada istri dan anak-anaknya apa yang dialami hari itu.
Pada Minggu (19 Agustus 1945), di hari ketika dirinya dilantik sebagai Menteri Pengajaran, ia pulang larut malam. Istrinya, Nyi Hadjar, yang awalnya ingin menghidangkan ekstra lauk-pauk harus kecewa karena hari itu di pasar Gondangdia, Jakarta Pusat terjadi insiden sehingga pasar bubar. Mimpi makan enak pun buyar.
Nyi Hadjar pun meminta Bambang agar beli bakmi jika ada tukang bakmi lewat depan rumah. Bambang diberi uang dua gulden.
Datanglah tukang bakmi tok-tok. Bambang segera berlari, sedangkan ayahnya masih asyik bercerita dengan ibunya. Tatkala membeli itu, Ali Sastroamidjojo dan istri juga terlihat memesan, karena rumah keduanya memang berdekatan.
Ketika bakmi datang, Nyi Hadjar pun berkata, “Untuk Yang Mulia Menteri Pengajaran kali ini bakmi boleh dihabiskan.”
Tapi, sang suami malah menyodorkan kepada anaknya yang menungguinya sampai begadang. Bambang pun menuangkan rantang ke piring.
“Ternyata, tertuang pulalah di situ uang 12 gulden yang tadi kucari-cari setengah mati. Barulah teringat olehku bahwa sewaktu berangkat membeli bakmi, aku menaruhnya di dalam rantang dan oleh si tukang bami langsung ditimbuni bakmi,” cerita Bambang.
Melihat itu, Ki Hadjar dan istrinya tertawa.
“Tak apalah. Mungkin memang harus terjadi supaya kita selalu ingat pada peristiwa yang bersejarah ini dan selalu dapat bercerita, bahwa ketika bapak diangkat jadi menteri dalam Kabinet RI yang pertama, kita telah mengadakan syukuran di tengah malam dengan makan bakmi yang dibumbui uang Jepang terakhir yang lecek!” kata Ki Hadjar disambut ketawa keluarga.[]