MINGGU, 7 Februari 1993. Jakarta diguyur hujan. Sangat deras.
Tapi, kondisi itu tak menyurutkan ratusan orang mengantarkannya ke pembaringan terakhir, TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Selatan.
Dalam sedu sedan itu, Mohammad Natsir kembali kepada Sang Khalik.
Perdana Menteri Indonesia era 1950-1951, tokoh Masyumi, pejuang kemerdekaan, juga seorang ulama mengembuskan nafas terakhirnya di usia 85 tahun pada Sabtu, 6 Februari 1993, waktu Dhuhur.
Tiga bulan ia dirawat di RS Cipto Mangunkusumo karena radang paru-paru.
Keluarga, teman, dan sahabatnya mengenalnya sebagai pribadi yang santun, cerdas, sederhana, peduli, dan memiliki keteguhan yang kuat.
“Karakter dan kepribadian almarhum amat menonjol,” begitu Kompas dalam Tajuk Rencana-nya, Selasa (9 Februari 1993) menggambarkan sosok Natsir.
“Padanya, berhasil dipadukan satunya perkataan dan perbuatan. Barangkali dari segi perilaku politik, sikap itu ada yang menilainya kaku, padahal politik memerlukan fleksibilitas.”
Natsir adalah tokoh politik berbahasa santun. Tentang kepandaian berbahasa inilah yang mengantarkannya menjadi Menteri Penerangan 1946-1949. Sjahrir-lah yang mengusulkan Natsir sebagai Menteri Penerangan. Presiden Sukarno tak berkeberatan dan bilang “Hij is de man (dialah orangnya)”, dikutip dalam “Saat Mesra dengan Bung Karno” di Majalah Tempo.
Suatu kali Bung Hatta bercerita bahwa Presiden Sukarno tak mau meneken suatu keterangan resmi bila itu tak disusun oleh Natsir, tutur Mohamad Roem, kawan seperjuangannya, juga Menteri Luar Negeri semasa Kabinet Natsir dalam tulisan "Kelemahan atau Kebesaran Natsir" bertarikh 14 Juni 1978.
Bahkan, Roem memuji tulisan-tulisan Natsir. “Dalam tulisan Natsir tidak terdapat kekakuan bahasa seperti dalam bahasa Hassan mungkin karena bahasa Indonesia (Melayu) lebih dekat dengan Natsir,” tuturnya.
Hassan yang dimaksud adalah Ahmad Hassan, seorang keturunan India asal Singapura yang menjadi guru agama di Persatuan Islam (Persis). Ia sering menulis tentang agama, kebangsaan, dan politik dengan nada tajam dan keras di Majalah Pembela Islam. Kepada Hassan pula Natsir menimba ilmu agama.
Menolak sedan Impala
Baik di organisasi maupun keluarga, lelaki kelahiran 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat itu tak pernah berbeda.
Ia tampil bersahaja. Sebagai pendidik, ia menjadikan pribadinya sebagai contoh. Dia bukanlah orang yang bergelimang harta meski telah menjadi perdana menteri.
Suatu kali anak-anaknya kegirangan, ayahnya bakal diberi hadiah mobil. Datang ke rumahnya di Jalan H.O.S Cokroaminoto (dulu, Jalan Jawa 28), Menteng, Jakarta, seorang tamu dari Medan. Sang tamu pengin memberi Natsir sebuah mobil Chevrolet Impala, mobil sedan besar buatan Amerika Serikat.
Di masa 1956-an, saat masih menjadi anggota Parlemen mobil itu sudah terlihat wah. Tapi, impian Sitti Muchliesah (Lies), anak pertama Natsir bersama adik-adiknya, buyar.
Natsir menolak hadiah itu dan tetap memakai mobil DeSoto yang kusam. Apa kata Natsir kepada anak-anaknya, “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” ujar Lies dalam wawancara dengan Tempo pada 2008 menirukan kata-kata ayahnya itu.
Kepada anak-anak, yang selalu diingat Lies dan adik-adiknya, Natsir dan Nur Nahar, istrinya, selalu mewanti-wanti, “Cukupkan yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.”
Jas tambalan
Meski menjabat di pemerintahan, tampilan Natsir jauh dari kesan perlente. George McTurnan Kahin, guru besar Universitas Cornell, menceritakan pertemuannya dengan Natsir suatu kali di Yogyakarta.
Kala itu, sebagai menteri, Natsir lebih banyak berada di Yogyakarta. Kahin melihat Natsir dengan tampilan bukan sewajarnya seorang menteri. Ia melihat Natsir memakai jas bertambal, kemejanya hanya dua setel dan sudah butut.
Menurut Lies, keluarganya saat ayahnya menjadi perdana menteri tak pernah memanfaatkan fasilitas pemerintah. Mereka tetap memakai DeSoto sehari-hari, Nur Nahar juga masak dan kadang ke pasar sendiri.
Menampik sisa dana taktis
Selain kesederhanaan itu, Natsir juga memiliki
integritas tinggi. Ia pernah menolak tawaran uang yang diberikan sekretarisnya Maria Ulfa usai mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri.
Menurut Maria, masih ada catatan sisa dana taktis dan dana ini menjadi hak perdana menteri. Natsir hanya menggeleng. Dana itu akhirnya diberikan kepada koperasi karyawan.
Anak bungsu Natsir, Ahmad Fauzie Natsir, menggambarkan sosok ayahnya yang dipanggil "Aba" bagai lampu petromaks.
"Cahayanya yang terang benderang menerangi semua yang ada di sekelilingnya. Seluruh anggota keluarga hidup di bawah sinarnya. Sosoknya tenang dan santun. Walaupun dalam situasi gawat, beliau tidak pernah tegang," tutur Fauzie dalam tulisan "Kenangan Tentang Aba" dalam buku 100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah.
"Meski Aba mantan perdana menteri dan menteri penerangan, kehidupan keluarga kami tetap sederhana. Kami semua hidup biasa-biasa saja. Kami tidak pernah aji mumpung dengan berbagai jabatan penting yang pernah dijalani oleh Aba.
"Gaya hidupnya yang sederhana, tidak aji mumpung itu menular dan diikuti oleh anak-anaknya."
Penuh empati dan simpati
Natsir memiliki kawan banyak. Mohamad Roem bercerita kesehatan rekannya itu menurun karena Natsir tak pernah membatasi kedatangan para tamu ke rumah. Rumahnya tak pernah sepi. Ada saja yang datang bertamu. Tamunya berasal dari berbagai daerah.
Natsir memang pribadi yang tak pernah membeda-bedakan. Ia penuh empati dan simpati. Barangkali ini yang membuat dirinya memiliki kawan banyak.
"Kalau ia mendengarkan orang mengisahkan cerita sedih atau kesulitan baik pun yang dihadapi orang dekat atau umum, maka Natsir mendengarkannya tidak saja dengan penuh perhatian, tapi Natsir merasakan penderitaannya," tulis Roem.
Meski keluh kesah yang diceritakan itu tak mendapatkan jalan keluar pun dari Natsir, kata Roem, kawan-kawannya itu sudah merasa lega bahwa Natsir mau mendengarnya.
Bahkan, Natsir adalah pribadi yang multikultur. Ia berteman dengan siapa saja.
Tidak aji mumpung
Menurut Fauzie, sifat tidak aji mumpung itu ditunjukkan oleh Aba saat mengembalikan mobil dinas setelah mundur dari perdana menteri.
Cerita pengembalian mobil digambarkan sangat singkat. Karena terus diganggu oleh lawan politiknya di Parlemen, Natsir akhirnya tak tahan dan mengembalikan mandat sebagai perdana menteri.
Ia menyopiri sendiri mobil dinasnya ke Istana. Adapun si sopir disuruh menggenjot sepeda. Ia menemui Sukarno di Istana dan hanya berbincang kurang lebih 10 menit. Ia pun pamit.
Mobil dinas ditinggal, Natsir membonceng sepeda yang dibawa sopirnya menuju rumah jabatan (kini, Gedung Pola di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat). Dari sini, ia mengajak keluarganya pindah ke rumah pribadinya di Jalan H.O.S Cokroaminoto 46.
Kisah rumah pribadi itu juga penuh perjuangan. Ia membeli dari kawannya. Meski dihargai "harga teman", Natsir tetap tak punya uang. Ia pun meminjam kepada teman-temannya dan mencicil rumah itu bertahun-tahun.
"Kesederhaan dan sifat tidak aji mumpung itulah yang membuat kenapa kehidupan kami tetap biasa-biasa saja ketika Aba ditekan baik pada masa Soekarno maupun pada masa Soeharto," tutur Fauzie.
"Ketika Aba dicekal oleh Orde Baru, kehidupan ekonomi keluarga tetap normal seperti biasanya. Padahal, ketika beliau dicekal itu intel sampai mengontrak sebuah rumah di dekat tempat tinggal kami di Jalan Cokroaminoto 46. Kami tahu ada intel sengaja mengontrak rumah untuk mengawasi rumah kami, dan kami sekelurarga biasa-biasa saja, tidak pernah merasa tertekan."[]