PERILAKU koruptif sekecil apa pun bisa menjadi awal tindak pidana korupsi. Ini masih dilakukan oleh sebagian karyawan atau pegawai saat berada di lingkungan kerja.
Apa sajakah perilaku koruptif yang dimaksud? Berikut ini sejumlah perilaku yang dapat merusak organisasi baik di lingkup pemerintah maupun swasta.
- Pemanfaatan fasilitas kantor
Penyalahgunaan fasilitas kantor yang umum terjadi dalam instansi publik adalah penggunaan kendaraan dinas dan anggaran perjalanan dinas. Terkait anggaran perjalanan dinas, modus yang seringkali dipakai oleh oknum aparatur sipil negara adalah manipulasi laporan pertanggung jawaban.
Namun, ada pula praktik kecil pegawai atau karyawan yang dianggap biasa, padahal mencerminkan nir-integritas, seperti penggunaan alat-tulis kantor untuk kebutuhan pribadi, memanfaatkan jaringan internet kantor untuk pribadi, menggunakan waktu lembur untuk kepentingan pribadi, dan lain-lain.
Pemanfaatan fasilitas kantor seperti itu tentu bisa merugikan kantor, bahkan bisa merugikan keuangan negara. Misal, pemakaian kendaraan dinas untuk pribadi bisa memperburuk citra pemerintah, bahkan bisa berdampak kerugian negara jika kendaraan tersebut mengalami kerusakan. Atau pemanfaatan jaringan internet untuk keperluan pribadi, misalnya mengunduh film atau file lain yang tak kaitannya dengan pekerjaan kantor. Perilaku ini berdampak pada kinerja organisasi secara keseluruhan, di mana bandwidth internet melambat dan efektivitas kerja terganggu.
Ada baiknya kita harus menyadari bahwa tindakan-tindakan kecil seperti itu termasuk keliru, tidak tepat, dan harus dihindari. Jika semua anggota organisasi menyadari hal ini, maka budaya membiasakan yang benar akan terbentuk di tiap-tiap organisasi.
- Praktik kolusi dan nepotisme
Praktik kolusi dan nepotisme sangat erat kaitannya dengan benturan kepentingan (conflict of interest). Istilah keduanya begitu populer di masyarakat usai jatuhnya rezim Orde Baru. Sayangnya, pembahasan istilah itu kini mulai menurun.
Menunjuk kerabat keluarga yang memang berkompeten untuk mengisi posisi kerja tertentu, apakah sebuah tindakan nepotisme itu keliru? Tindakan ini tentu keliru di lingkup pemerintahan sebab mengutamakan kepentingan pribadi atau keluarga. Padahal, posisi kerja itu misalnya bisa diisi oleh pegawai lama yang kompeten atau melalui rekrutmen baru dengan sistem terbuka dan adil. Kerabat yang mendapatkan posisi kerja dengan jalur kerabat itu seringkali diberi label sebagai “orang titipan” atau “dibantu orang dalam”. Selain menghambat kemajuan organisasi, praktik kekerabatan merusak sistem rekrutmen yang terbuka dan adil.
Di lingkup pemerintahan, aturan kolusi dan nepotisme ini diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Sayangnya, tidak ada aturan hukum yang mengatur atau memberi sanksi bagi pelaku nepotisme di lingkup perusahaan. Padahal, praktik nepotisme yang terjadi dalam perusahaan dapat menurunkan produktivitas karyawan lain, karena merasa tidak dihargai meski sudah bekerja keras. Jadi, untuk bisa menghentikan adanya praktik nepotisme, perusahaan harus membuat aturan tegas mengenai hal ini.
Untuk perilaku ini telah masuk kategori korupsi: pemerasan. Orang yang memiliki kewenangan dengan sadar meminta uang kepada pihak tertentu jika ingin menduduki posisi jabatan tertentu.
Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2016 hingga 2021 telah menangani kasus jual-beli jabatan yang menyeret tujuh kepala daerah, antara lain Bupati Klaten Sri Hartini, Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra, Bupati Kudus Muhammad Tamzil, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial, dan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari.
Jual-beli jabatan ini menjadi salah satu modus korupsi yang kerap dilakukan kepala daerah, selain modus pengadaan barang dan jasa, perizinan, hingga pajak dan retribusi.
Berdasarkan hasil survei Survei Persepsi Integritas 2019, sekitar 63 persen instansi pemerintah masih melakukan suap dalam pengisian jabatan.
Tidak hanya di instansi pemerintah, jual beli jabatan juga terjadi di perusahaan swasta. Adanya praktik jual beli jabatan memungkinkan suatu jabatan diduduki oleh orang yang kurang kompeten sehingga menghambat kemajuan perusahaan, organisasi, maupun instansi. Selain itu, jual beli jabatan juga memicu terjadinya praktik penggelapan uang sebagai “balik modal”.
Uang pelicin
Pemberian uang pelicin jamak terjadi ketika masyarakat mengurus layanan publik. Praktik ini jelas salah. Sayangnya, masih ada yang menganggap wajar dan terus berulangkali dilakukan kembali.
Kajian Lembaga Survei Indonesia terhadap 1.000 responden (pemilik atau pelaksana manajemen usaha), sekitar 23,4 persen menyatakan bahwa pemberian pelicin seperti uang atau hadiah di luar ketentuan adalah hal yang wajar saat berhubungan dengan instansi pemerintah.
Sementara itu, berdasarkan data Global Corruption Barometer (GCB) 2020 yang dirilis oleh Transparency International, sekitar 25 persen responden membayar biaya tidak resmi karena diminta dan 21 persen ditawari agar membayar demi kelancaran proses, sementara 33 persen memberikan gratifikasi sebagai tanda terima kasih.
Sungguh miris. Ini menunjukkan bahwa uang pelicin masih menjadi sesuatu yang diandalkan oleh masyarakat dalam mempercepat berbagai proses. Hal ini juga berlaku di lingkup swasta. Banyak karyawan perusahaan yang membayar uang pelicin demi kelancaran usaha.
Untuk mencegah adanya praktik pemberian uang pelicin, perusahaan bisa menghindari penggunaan pihak ketiga atau joki dalam pengurusan berbagai perizinan. Selain itu, lakukan semua prosedur sesuai dengan yang seharusnya dan laporkan jika ada oknum tertentu yang meminta uang pelicin saat proses pengurusan.
Mencegah terjadinya korupsi dalam perusahaan bisa dimulai dari diri sendiri. Tidak peduli apapun jabatan dan kewenangan yang dimiliki dalam perusahaan, berusahalah untuk selalu bekerja profesional dan berintegritas untuk mencapai hasil yang baik dengan cara yang benar.[]