Korupsi yang terus terjadi dan tidak dapat teratasi dapat memperburuk persepsi internasional kepada sebuah negara, diwujudkan pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Penurunan skor IPK sekaligus juga menurunkan reputasi negara tersebut di mata dunia.
Pada 2021, Indonesia berada di ranking 102 bersama dengan Gambia dengan skor 37 dari skala 100, turun satu poin dibanding IPK 2020. Ini jelas bukan angka yang bisa kita banggakan. Sebagai catatan, ada 180 negara yang tercatat pada IPK dengan Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru yang selalu langganan di ranking pertama negara bebas korupsi.
IPK yang diakui sebagai standar internasional indikator keberhasilan pemberantasan korupsi sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan investor. Jika skor IPK rendah, investor akan menganggap iklim bisnis di negara tersebut buruk karena diwarnai oleh korupsi, suap, dan pemerasan. Akibatnya, investor enggan menanamkan modalnya di negara itu. Padahal investasi asing sangat penting bagi negara, di antaranya menambah pemasukan sektor pajak, membuka lapangan kerja baru, hingga membiayai sektor-sektor yang membutuhkan dana.
Tanpa adanya investor, maka pertumbuhan ekonomi sulit untuk berkembang. Pertumbuhan ekonomi yang buruk akan membuat harga-harga melambung tinggi, sementara penghasilan tidak ikut naik karena lapangan pekerjaan yang terbatas. Rakyat miskin yang sudah kesulitan membeli bahan pokok akan semakin sengsara lagi.
Melihat alur hubungan antara biaya sosial korupsi, dampak korupsi, dan indikator pemberantasan korupsi, rasanya tidak salah jika korupsi diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa. Dilihat dari sisi mana pun, korupsi adalah perbuatan jahat yang merugikan banyak orang.
Tapi mirisnya, koruptor tidak selalu yang paling menderita dalam babak penyelesaian korupsi. Mereka masih bisa hidup mewah karena harta yang berlimpah. Paling nelangsa tentu saja rakyat kecil yang selalu saja menanggung dampak terburuk dari korupsi.