Undang-undang pemberantasan korupsi telah mengatur hukuman penjara dan denda untuk para koruptor. Namun ternyata, hukuman ini tidak membuat jera, masih ada saja orang yang korupsi di negara ini. Lantas muncul pertanyaan, apakah hukuman tindak pidana korupsi ini setimpal dengan kerugian negara?
Sebelumnya kita telah berbicara soal macam-macam biaya sosial korupsi yang ditimbulkan dalam kasus-kasus korupsi. Ternyata, biaya sosial yang menjadi kerugian negara tersebut jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan hukuman bagi koruptor. Catatan KPK, dalam rentang 2001-2012 kerugian eksplisit akibat korupsi oleh 1.842 koruptor mencapai Rp168 triliun. Sementara hukuman final terhadap para koruptor hanya menghasilkan jumlah tuntutan Rp15 triliun.
Selisih Rp153 triliun ditanggung negara menggunakan uang pajak dari rakyat. Jadi secara tidak langsung rakyat menanggung kerugian tersebut. Belum lagi kerugian yang akan terjadi kemudian, seperti layanan kesehatan dan publik yang buruk, hingga sulitnya menekan angka kemiskinan.
Mengutip buku Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi yang dirilis KPK, hukuman kepada para koruptor juga tidak mampu memberikan efek jera. Hukuman yang bersifat non-badan seperti denda, uang pengganti, dan ongkos perkara, belum sepenuhnya merefleksikan dampak korupsi.
Vonis bagi koruptor memang sudah menjatuhkan hukuman seumur hidup dan hukuman denda, ditambah hukuman pengganti. Bahkan, hakim juga pernah mencabut hak politik bagi terpidana korupsi. Namun, denda dan hukuman penggantinya itu terbatas dan sebagian besar koruptor yang dikenai hukuman pengganti, ternyata tidak membayarnya dan lebih memilih ditahan. Inilah yang membuat hukuman bagi koruptor belum menghasilkan efek penangkalan.