AKSI / MEMAHAMI BIAYA SOSIAL KORUPSI YANG MERUGIKAN NEGARA
Korupsi oleh seorang pejabat pemerintahan ternyata tidak hanya merugikan negara karena ada anggaran yang ditilap, berujung pada penurunan kualitas pelayanan publik. Korupsi ternyata juga merugikan rakyat secara langsung, dengan penggunaan pajak negara untuk penanganan kasus tindak pidana korupsi. Kerugian yang disebut “biaya sosial korupsi” ini tidak setimpal dengan hukuman dan denda yang dibebankan kepada pelaku korupsi.
Biaya sosial korupsi bisa diartikan sebagai dampak kerugian dari perilaku korupsi yang membebani keuangan negara. Dampak ini timbul bukan hanya sebatas nominal uang yang dikorupsi, tapi segala biaya yang harus dibayar negara karena perilaku korupsi tersebut. Biaya ini termasuk ongkos pencegahan korupsi, proses hukum pelaku korupsi mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga pengadilan, bahkan biaya untuk menghidupi koruptor di penjara.
Dalam buku Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi yang dirilis KPK, biaya sosial korupsi dapat dihitung dengan melihat komponen di dalamnya. Dalam metodologi Brand and Price, penghitungan biaya sosial dapat diukur dari tiga unsur, yaitu biaya antisipasi, biaya akibat, dan biaya reaksi.
Biaya Antisipasi terhadap Korupsi adalah besaran biaya yang dikeluarkan negara untuk mengantisipasi dan mencegah korupsi. Contohnya, ketika korupsi telah menjadi endemik di sebuah negara, maka pemerintahan negara itu akan mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi hal tersebut, dan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Biaya akibat Korupsi adalah biaya dari kerugian yang ditanggung masyarakat akibat korupsi, contohnya dampak sosial ekonomi, dampak investasi, dan yang lainnya. Biaya ini dibagi menjadi dua, yaitu eksplisit dan implisit. Biaya eksplisit adalah kerugian akibat korupsi yang dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sedangkan implisit adalah nilai kerugian yang dihitung akibat efek domino dari korupsi tersebut. Termasuk dalam biaya implisit adalah berapa banyak pengaruhnya terhadap investasi sampai ekonomi makro.
Sedangkan Biaya Reaksi muncul sepanjang proses penyelesaian perkara. Mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai si koruptor masuk ke penjara.
Harga yang harus dibayar koruptor atas kejahatan mereka ternyata tidak setimpal dengan nilai kerugian yang dialami oleh masyarakat. Catatan KPK, dalam rentang 2001-2012 kerugian eksplisit akibat korupsi oleh 1.842 koruptor mencapai Rp168 triliun. Sementara hukuman final terhadap para koruptor hanya menghasilkan jumlah tuntutan Rp15 triliun. Lantas, siapa yang menanggung selisih Rp153 triliun? Tentu saja rakyat.
Biaya sosial yang muncul dalam kasus korupsi adalah tanggungan negara, yang sudah pasti uangnya berasal dari pajak rakyat. Pajak yang seharusnya bisa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat malah digunakan untuk mengurusi korupsi dan mensubsidi kerugian akibat korupsi. Hukuman yang diberikan kepada koruptor juga kerap dianggap tidak setimpal dan tidak memberi efek jera, di sinilah ketidakadilan dirasakan oleh rakyat.
Atas kondisi ini, muncullah ide untuk memasukkan pembebanan biaya sosial korupsi tersebut sebagai bagian pemidanaan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Bentuknya, melalui revisi Pasal 2 dan 3 yakni mengenai Pemidanaan pada UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU No.20 tahun 2001.
Cara lainnya adalah mengambil semua aset dan harta hasil korupsi untuk "memiskinkan para koruptor". Cara ini digunakan selain membayar biaya sosial korupsi, juga dianggap lebih memberikan efek jera bagi pelaku korupsi dibanding dipenjara.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo dalam sebuah wawancara media mengatakan ada dua landasan hukum untuk memiskinkan koruptor, yaitu UU Pencucian Uang dan RUU Perampasan Aset. Pemiskinan koruptor ini, kata Adnan, adalah aspirasi rakyat yang seharusnya ditindaklanjuti dengan serius oleh penegak hukum. Tapi pada kenyataannya, kata dia, berbagai alasan muncul sehingga cara ini tidak dilakukan.