HOEGENG. Jika disebut nama ini di kalangan Generasi Z, sebagian besar dipastikan tak mengenalnya. Kalah populer dengan nama-nama Jokowi, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, atau Anies Baswedan.
Hoegeng adalah Kapolri teladan. Sosok ideal seorang polisi yang dimiliki Indonesia. Ia dikenal berani, jujur, sederhana, dan tegas! Tak silau jabatan dan harta.
Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur suatu kali pada 2006 di sebuah diskusi berujar guyon bahwa di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.
Lelucon itu seperti mendapatkan afirmasinya, karena sosok Hoegeng memang begitu adanya. Ia dipuji masyarakat karena antara ucapan dan laku hidupnya sejalan: apa adanya, tak pernah neko-neko.
Lahir di kota Pekalongan, Jawa Tengah pada 14 Oktober 1921, Hoegeng Iman Santoso Hoegeng adalah legenda di kalangan Polri. Ia menjadi Kapolri ke-5 dengan masa tugas 1968–1971.
Hoegeng menikah dengan Meriyati Roeslani atau biasa dipanggil Mery. Pernikahan keduanya dikaruniai tiga orang anak; satu laki-laki dan dua perempuan. Hoegeng berpulang pada 14 Oktober 2004 di usia 82 tahun.
Berikut laku-laku integritas Hoegeng baik selama bertugas di Polri maupun sebagai pegawai pemerintah atau menteri di kabinet Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto.
Tutup toko bunga istri, hindari konflik kepentingan
Cerita ini beberapa hari sebelum Hoegeng dilantik sebagai kepala Jawatan Imigrasi. Kejadian sekitar 1960. Sebagai pegawai negeri, dia berusaha menaati peraturan yang diterapkan pada sipil, yaitu ada peraturan bahwa pegawai negeri dan keluarganya tidak diperbolehkan berbisnis.
“Pada saat saya diangkat, istri saya baru saja mendirikan perusahaan bunga yang dinamakan ‘Leilani’,” tutur Hoegeng dalam memoar-nya “Bertahan di Jalur Jujur” di Majalah Tempo, 22 Agustus 1992.
“Karena saya diangkat jadi kepala Jawatan Imigrasi, maka saya meminta Mery supaya menutup perusahaan bunganya. Saya khawatir nanti orang jadi berbaik-baik pada saya dengan membeli bunga istri saya. Dan, Mery mengerti keputusan saya,” ia menuturkan.
Tolak hadiah (gratifikasi)
Setelah tiga tahun menjadi intel (sebagai kepala Dinas Pengawasan Keselamatan Negara se-Jawa Timur—badan intel kepolisian kala itu), akhir 1955 Hoegeng ditugaskan ke Medan. Berpangkat ajun komisaris besar polisi (AKBP), ia menjabat kepala Direktorat Reserse Kriminal Kantor Polisi Provinsi Sumatera Utara.
Di sinilah, Hoegeng langsung menerima cobaan. Begitu tiba di Pelabuhan Belawan, ia dan istri disambut rekan-rekan dari kantor barunya.
Namun, ada seorang China muncul tiba-tiba. China gemuk itu menyalaminya erat-erat sambil membungkuk kepada Hoegeng. Ia memperkenalkan diri sebagai “Ketua Panitia Selamat Datang” yang khusus dibentuk untuk menyambut Hoegeng.
Dalam autobiografi Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993), Hoegeng terheran-heran dengan kejadian itu. Dalam hati, ia juga tertawa: kok ada upacara penyambutan seperti itu.
Sang China itu berujar bahwa rumah dan mobil sudah disediakan “Panitia Selamat Datang” yang dipimpinnya. Ia juga siap mengantar Hoegeng ke rumah itu. Namun, Hoegeng menolak itu dengan halus dan langsung cabut ke Hotel De Boer yang telah dipesankan rekan kantornya sebelum tinggal di rumah dinas di Jalan A. Rivai Nomor 26.
Ketika, esok hari, dirinya pergi ke rumah dinas yang sudah kosong, ia mendapati orang China itu ada di rumahnya. Ia sudah mengisi rumah tersebut dengan lemari es, piano, dan mebel lengkap, tanpa izin sang penghuni rumah.
Hoegeng pun menolaknya dan meminta agar perabotan segera diangkut kembal. Mendengar itu, orang itu diam, kikuk. Hoegeng pun marah.
“Saya kasih waktu sampai jam dua. Kalau tidak dikeluarkan, saya suruh anak buah saya mengeluarkan barang-barang. Ternyata, hingga jam 2, barang-barang baru itu tetap di sana. Terpaksa saya menyuruh anak buah saya memanggil kuli untuk mengeluarkan barang-barang itu,” cerita Hoegeng.
Turba atur lalu lintas
Meski menduduki jabatan sebagai kepala Polri, Hoegeng tak segan-segang turun ke bawah (turba) mengatur lalu lintas. Ia merasa tak perlu malu mengambilalih tugas teknis seorang polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat.
“Misalnya, jika di suatu perempatan jalan terjadi kemacetan lalu lintas, maka kadangkala dengan baju dinas Kapolri saya akan menjalankan tugas seorang polisi lalu lintas di jalan raya,” tuturnya.
“Saya melakukannya dengan ikhlas. Sekaligus memberikan contoh teladan tentang motivasi dan kecintaan polisi akan tugasnya, sekaligus memberikan teguran dan peringatan secara halus kepada bawahan yang lalai atau malas!”
Menurut dia, seorang polisi yang sedang mengenakan seragam, kewajiban resminya harus menjadi konkret atau nyata di tengah masyarakat. Bagaimanapun, “Masyarakat berhak menuntut ketertiban dan ketenteraman,” katanya.
“Dilihat secara demikian, masyarakat pertama-tama menempatkan polisi sebagai polisi, kemudian baru membedakan apakah kedudukan atau pangkatnya dalam organisasi kepolisian.”
Karena, menurut Hoegeng, pangkat dan jabatan di kepolisian tidaklah mengurangi hakikat dan citra polisi secara keseluruhan.
Percobaan suap
Suatu hari Mery, istrinya, menelepon Hoegeng yang sedang berada di kantornya.
“Ada apa? tanya Hoegeng.
“Begini, Mas, ada tamu seorang China Makassar ke rumah. Ia meninggalkan banyak hadiah,” kata Mery
“Apa ia meninggalkan alamat?”
“Ada, Mas!”
“Tunggu sampai saya pulang, saya kepengin tahu hadiah apa!”
Setiba di rumah, Hoegeng membuka sebuah peti besar dari kayu. Begitu dibuka, banyak perabotan seperti mesin cuci listrik, alat-alat elektronik, bahan-bahan pakaian mahal, dan banyak lainnya.
Peti itu pun ditutup kembali dan dikirimkan kembali ke pengirimnya.
“Yang saya tak habis mengerti, tak lama setelah hadiah itu dikembalikan, datang lagi sejumlah relasi si (wanita) cantik (asal Makassar, tersangka smokel/penyelundupan) untuk meyakinkan saya. Bahwa, hadiah itu bukanlah suap melainkan tanda penghormatan kepada saya. Begitu mereka bilang,” cerita Hoegeng.
Hoegeng lalu menjelaskan kepada utusan wanita cantik itu. “Tak begini caranya. Saya tidak suka. Hadiah-hadiah itu saya kembalikan sebab wanita itu masih dalam perkara,” katanya.
Jika ingin menghormati dirinya, maka, “You, sebaiknya tidak ikut campur dalam soal ini.” Perkara wanita ini akhirnya diteruskan ke pengadilan dan akhirnya dia menerima vonis hukuman penjara.[]