“PARA Pencuri Kitab Tuhan,” demikian judul sampul majalah investagsi TEMPO edisi 2-8 Juli 2012. Laporan jurnalistik itu menyoroti proyek pengadaan Al Quran di Kementerian Agama yang berlumur korupsi.
Kasus itu membuat publik terhenyak. Kok bisa kitab suci sampai dikorupsi?
Sungguh ironis.
Di negara yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan enam agama yang diakui, tapi praktik korupsi justru terjadi di lembaga keagamaan.
Kementerian urusan agama yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai integritas, justru beberapa kali tersandung kejahatan korupsi.
Berikut ini sejumlah kasus korupsi di Kementerian Agama RI:
- Dana Abadi Umat dan Penyelenggaraan Haji
Mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar periode 2001-2004 terbukti bersalah dalam korupsi Dana Abadi Utama dan dana penyelenggaraan ibadah haji.
Selama menjadi menteri, ia menerima uang sebesar Rp4,5 miliar.
Dalam persidangan, Said mengakui telah menerima uang sebesar itu dan menyebut sebagai dana taktis dan tunjangan.
Menurut dia, dana itu telah sesuai prosedur kepegawaian.
Pada 7 Februari 2006, Said divonis lima tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair tiga bulan kurungan, serta wajib membayar uang pengganti kerugian negara Rp2 miliar subsider 1 tahun penjara.
Ketua Majelis Hakim Cicut Sutiarso menyatakankan, selama menjadi menteri, Said terbukti menggunakan dana itu bukan hanya untuk penyelenggaraan ibadah haji, “melainkan untuk keperluan lain, seperti membiayai perjalanan anggota Komisi VI DPR, ongkos haji atau umrah sejumlah tokoh masyarakat, membiayai perjalanan hakim agama Mahkamah Agung, serta memberikan sumbangan yang tidak sesuai dengan peruntukan,” demikian dikutip dari Koran Tempo, 8 Februari 2006.
- Pengadaan Al Quran dan Laboratorium Madrasah
Enam tahun berselang. Kemenag menggemparkan publik kembali. Kali ini kabar korupsi pengadaan Al Quran.
Korupsi terjadi dalam pengadaan tahun anggaran 2011 dan 2012.
Sebanyak empat orang ditetapkan sebagai tersangka, antara lain Zulkarnaen Djabbar (anggota Badan Anggaran DPR RI 2009-2014), Dendy Prasetia dan Ahmad Jauhari (pegawai Direktorat Bimas Islam Kementerian Agama), dan Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq (politikus Golkar).
Djabbar bersama anaknya Dendy Prasetia dan Fahd El Fouz (broker) terbukti menerima total uang senilai Rp14,3 miliar dari Direktur PT Sinergi Pustaka Indonesia, Abdul Kadir Alaydrus. Fahd menerima Rp3,4 miliar.
Pada 2011, menurut hakim, mereka terbukti mempengaruhi pejabat Kemenag guna menjadikan PT Batu Karya Mas sebagai pemenang lelang pengadaan laboratorium komputer MTS dan PT Adhi Aksara Abadi Indonesia (A3I) sebagai pemenang pengadaan Al Quran.
Selanjutnya, pada tahun anggaran 2012, mereka mempengaruhi agar pengadaan Al Quran dimenangkan oleh PT Sinergi Pustaka Indonesia.
Fahd sebetulnya telah memiliki rekam jejak korupsi. Ia pernah tersangkut korupsi dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dan divonis 2,5 tahun penjara. Ia menyuap Rp5,5 miliar kepada anggota DPR Wa Ode Nurhayati agar proposal alokasi DPID untuk tiga kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam disetujui.
Dalam kasus korupsi Kemenag, Djabbar divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsidair sebulan kurungan, Dendy 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsidair penjara selama 4 bulan. Keduanya juga diwajibkan membayar penggantian uang negara sebesar masing-masing Rp5,7 miliar dalam waktu sebulan.
Adapun Ahmad Jauhari divonis 8 tahun dan denda Rp 200 juta subsidair enam bulan penjara dan Fahd El Fouz 4 tahun dan denda Rp 200 juta subsidair tiga bulan kurungan. Hukuman Fahd lebih ringan karena dianggap kooperatif dan telah mengembalikan dana korupsi sebesar Rp3,4 miliar.
- Korupsi Dana Penyelenggaraan Haji dan Dana Operasional Menteri (DOM)
Korupsi ini menjerat Menteri Agama periode 2009-2014, Suryadharma Ali. Pada 22 Mei 2014, KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka atas kasus korupsi penyelenggaraan haji tahun 2010-2013.
Suryadharma curang dalam pengangkatan petugas panitia penyelenggara haji di Arab Saudi dan memanfaatkan sisa kuota haji untuk beberapa orang yang dipilihnya agar bisa naik haji gratis.
Ia juga terbukti menggunakan DOM yang bersumber dari APBN untuk kepentingan pribadinya, seperti berobat anaknya serta keperluan wisata.
Total DOM yang diselewengkan oleh Suryadharma mencapai Rp1,8 miliar.
Suryadharma divonis 6 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsidair tiga bulan kurungan, serta uang pengganti Rp1,8 miliar.
Pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ditolak, hakim justru memperberat hukumannya menjadi 10 tahun penjara.
Hak politiknya juga dicabut selama lima tahun, terhitung setelah selesai menjalani masa hukuman penjara.
Mencegah korupsi
Untuk mencegah agar korupsi di lembaga keagamaan tak terulang, masing-masing individu harus sadar diri. Bahaya korupsi itu begitu luas, tidak hanya bagi diri sendiri, tapi masyarakat.
KPK mengedukasi masyarakat mengenai berbagai hal seputar korupsi dan gratifikasi dan pandangannya dari berbagai agama. Penting dicamkan: agama apa pun, tidak ada yang membenarkan praktik korupsi.
KPK juga menyiapkan
buku pendidikan antikorupsi sesuai ajaran masing-masing agama. Jadi, #KawanAksi bisa mempelajarinya sesuai dengan agama yang dipeluk.*