Hubungan tersebut biasanya terjadi ketika elite politik yang memiliki otoritas kekuasaan atau posisi politik mengeksploitasi simpatisan atau warga dengan janji-janji demi “dipertukarkan” dengan dukungan dan loyalitas politik.
Dalam Jurnal Antikorupsi
INTEGRITAS, Ramadhan dan Oley (2019) menuliskan bahwa klientelisme adalah fenomena sosial politik Indonesia yang erat kaitannya dengan pemilihan umum.
Pasalnya, praktik pertukaran janji dan loyalitas politik tersebut, di Indonesia, misalnya, “lebih erat kaitannya dengan kompetisi kekuasaan antara dinamika demokratisasi dan distorsi oligarki,” tulis Ramadhan dan Oley
Langgengnya praktik klientelisme
Ramadhan dan Oley menyebutkan ada dua poin mengapa klientelisme bisa termasuk perilaku koruptif dalam konteks demokrasi.
Pertama, tidak terpenuhinya hak-hak kewarganegaraan. Ketika hak rakyat tidak terealisasi sebagaimana yang dijanjikan para elit politik, ada mekanisme kontrol dan penuntutan akan kewenangan-kewenangan tersebut kepada sosok lain yang mencalonkan diri sebagai pemimpin pada periode berikutnya.
Alih-alih menunggu realisasi program yang dicanangkan, rakyat memilih untuk melakukan transaksi relasi kuasa dengan bentuk imbalan material secara langsung.
Kedua, faktor saling menguntungkan. Mengakarnya praktik klientelisme adalah hasil dari keadaan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak yang terlibat.
Dari sisi pejabat publik, transaksi relasi kuasa ini akan membantunya mencapai posisi tertentu dan mempertahankan posisi itu pada periode pemilu berikutnya.
Sedangkan, sisi pemilih, praktik klientelisme akan menopang kehidupan mereka dalam bentuk akses pekerjaan, program bantuan sosial untuk kemenangan politik, perlindungan ekonomi-politik, hingga pemberian uang.
Klientelisme memiliki keterkaitan yang erat dengan kebudayaan. Dalam lanskap Indonesia, pendapat tersebut masuk di akal, mengingat tradisi masyarakat yang memandang bahwa memberi sebagai bentuk kebaikan. Pada akhirnya, praktik klientelisme masih langgeng hingga kini.
Bahaya klientelisme
Bahaya klientelisme sebagai tindak korupsi dapat terlihat dalam dua efek berikut:
- Kerusakan pada tatanan politik dalam sistem demokrasi
Mengingat transaksi klientelisme berasaskan janji atau imbalan materi yang ditukar dengan dukungan dan loyalitas politik, hak suara yang diberikan pemilih kepada kandidat nantinya bukan lagi berdasarkan pada visi misi kandidat untuk membangun dan memajukan wilayah. Akan tetapi, pilihan itu lebih condong karena janji dukungan dan imbalan yang sudah disepakati sebelumnya.
- Pendistribusian sumber daya publik kepada kelompok-kelompok tertentu
Ramadhan dan Oley (2019) mengungkapkan, calon pejabat publik yang mempraktikkan transaksi klientelisme itu didorong oleh kebutuhan dan tekanan dari lingkungan sekitarnya. Kebutuhan dan tekanan itu dapat berupa distribusi pemberian uang atau barang, kontrol terhadap anggaran, hingga pemrioritasan program atau kebijakan.
Ketika yang bersangkutan memimpin, tidak menutup kemungkinan baginya untuk mendistribusikan anggaran publik kepada kelompok-kelompok tertentu, termasuk para pendukung yang sudah melakukan perjanjian transaksi relasi kuasa dengannya.
Menghindari klientelisme
Menurut Ramadhan dan Oley (2019), penegak hukum dapat mengimplementasikan empat strategi berikut untuk mencegah masalah klientelisme: mengetatkan pengawasan pelaksanaan program pasca pemilu, mengadakan mekanisme dan platform pengawasan yang bersifat mengakar, mereformasi regulasi hubungan patron-klien, dan melakukan pengawasan yang ketat terhadap kegiatan pada masa reses.
Sementara #KawanAksi sebagai pemilih dalam
Pemilu 2024 mendatang dapat menolak pemberian uang atau barang maupun janji-janji yang diberikan kandidat sebagai bentuk menghindari klientelisme.
Selain itu, #KawanAksi juga perlu senantiasa menanamkan
nilai-nilai integritas yang dikenal dengan singkatan “JUMAT BERSEPEDA KK”: jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras sebagai bentuk pencegahan tindak korupsi klientelisme.*