Ia juga menegaskan bahwa, "Akar masalah korupsi adalah gratifikasi sedangkan akar masalah gratifikasi adalah diskriminasi dan rusaknya cara berpikir," ujarnya.
Menjadi orang kaya raya, menurutnya, diperbolehkan asalkan diraih dengan tidak dengan melawan hukum. Yang perlu diperhatikan, "Jangan kaya dengan cara bohong, tipu, palsu, fiktif, dan mark up," katanya.
Sebagai dosen atau pengajar pendidikan antikorupsi tak hanya cukup menguasai materi hukum tentang korupsi, tapi juga perlu membekali diri dalam berkomunikasi atau menyampaikan pesan kepada audiens, terutama mahasiswa. Oleh karena itu, penguasaan dasar komunikasi sangat penting dimiliki.
Baca:
Menjadi narasumber kedua di acara webinar itu, Psikolog Komunikasi dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Niniek L Karim, memberikan penguatan bagaimana pengajar atau dosen perlu memahami cara berkomunikasi.
Ia menjelaskan pada dasarnya setiap orang itu adalah psikolog awam. Oleh karenanya, "Dalam berkomunikasi sebagai komunikator atau komunikan, selain siap menilai, kita harus siap dinilai oleh siapa pun," Niniek menuturkan.
Menilai jiwa seseorang itu bisa melalui perilaku yang tampak dan tak tampak. Bahkan, sebuah studi menunjukkan, bahwa informasi yang spontan diterima oleh komunikan itu, ternyata 55 persen dari ekspresi tubuh, lalu 38 persen dari intonasi suara, dan tujuh persen dari kata-kata. "Bahasa non-verbal tidak bisa berbohong. Hati-hatilah ekspresi tubuh dan intonasi suara Anda," ujarnya.
Niniek berharap para dosen atau calon pengampu pendidikan antikorupsi juga memahami kunci lain agar sebuah komunikasi berjalan baik, yaitu berempati untuk mendengarkan. "(Mendengarkan) ini penting karena komunikasi tidak lancar apabila kita tidak mau mendengar, mendominasi pembicaraan–penyebabnya adalah aku paling benar atau terlalu cepat menyimpulkan," Niniek menjelaskan.[]