Indonesia menempati ranking 96 dengan skor 38 dari skala 100 dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2021. Bukan sesuatu yang membanggakan karena IPK jadi rujukan penilaian tingkat korupsi di sebuah negara. Semakin kecil skor IPK, maka semakin minim juga kepercayaan publik terhadap negara tersebut.
Eks Komisioner KPK RI periode 2003—2007 Ery Riyana Hardjapamekas mengatakan IPK yang dirilis oleh lembaga Transparency International ini merupakan persepsi korupsi dari kalangan pebisnis. Jadi, kacamata yang digunakan menyasar pelayanan publik di berbagai sektor yang bersinggungan langsung dengan masyarakat bisnis.
Menjadi pembicara di acara PAKU Integritas gelombang pertama di Jakarta, Kamis (16/6), Erry ditanya tentang kiat meningkatkan IPK Indonesia. Menurut Erry, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki sektor pelayanan publik yang paling disoroti oleh pebisnis.
"Pintu gerbang kita ada di bandara, kedua lalu lintas. Orang bisnis turun dari bandara masuk ke jalan, itu yang membuat kesan buruk. Mulai pelayanan di imigrasi, bea cukai, sampai lalu lintas (yang macet)," kata Erry kepada peserta PAKU Integritas yang terdiri dari para pejabat eselon I Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Itu yang menimbulkan persepsi, yaitu perilaku orang secara umum ketika mereka datang (ke Indonesia). Hal lainnya adalah kepastian hukum," lanjut dia lagi.
Pada IPK 2021, survei dilakukan terhadap 180 negara di dunia. Lima negara dengan ranking teratas IPK adalah langganan juara, yaitu Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Singapura, dan Swedia. Kelima negara ini mendapatkan skor 85-88, yang artinya "hampir" bersih dari korupsi.