oleh
M. Indra Furqon
Widyaiswara Ahli Madya KPK
MENGAPA pegawai negeri, penyelenggara negara, atau pejabat publik tidak pantas menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban?
Dasar pemikirannya adalah karena tugas mereka memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, karena seseorang tidak berhak meminta atau mendapatkan sesuatu sekadar dia menjalankan tugas sesuai tanggungjawab dan kewajibannya.
Artinya mereka diminta atau tidak diminta, wajib bekerja melayani masyarakat, tidak butuh imbalan lagi karena dengan melaksanakan pekerjaanya, dia akan mendapatkan kompensasi dari negara baik berupa gaji atau tunjangan dan semisalnya, sesuai hak yang diatur dalam peraturan perundangan.
Petugas kelurahan yang menyelesaikan pencetakan KTP dan menyerahkan kepada masyarakat yang mengajukan, tidak perlu dan tidak pantas menerima tip. Begitu pula, petugas pajak atau bea cukai yang berhasil memungut pajak miliaran rupiah dari wajib pajak, tetap tidak pantas menerima hadiah dari wajib pajak dengan alasan apa pun meski sekadar makanan.
Dasar pemikiran lain, hadiah yang diterima pegawai negeri atau pejabat publik, tidak akan didapat jika tidak terjadi pelayanan kepada masyarakat. Jika masyarakat yang hendak meminta pelayanan hanya mengenal office boy di kantor pelayanan publik, maka hadiah tadi tidak akan diberikan kepada si pegawai atau pejabat pelayanan publik.
Sejatinya hadiah tadi berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban: inilah hakikat gratifikasi!
Diberikan tidak langsung atau terselubung
Gratifikasi tidak selalu diterima secara langsung oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Ada kalanya gratifikasi bisa menyasar ke anggota keluarga dari pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut baik disengaja ataupun tanpa disengaja.
Disengaja di sini maksudnya adalah adanya perintah langsung vendor atau masyarakat agar memberikan gratifikasi kepada anggota keluarga. Dalam tahap ini sudah muncul mens rea atau niat jahat dari pegawai negeri untuk menyamarkan penerimaan gratifikasi kepadanya menjadi penerimaan gratifikasi oleh orang lain yang berasal dari anggota keluarga.
Dengan begitu, publik tidak menyadari bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut telah menerima gratifikasi secara tidak langsung.
Namun, ada pula penerimaan gratifikasi yang tidak langsung tanpa disengaja atau direncanakan, seperti gratifikasi dikirim ke alamat rumah—mau tidak mau diterima karena datang tersamar seperti paket barang yang biasa dipesan lewat marketplace.
Ada juga diterima tanpa kehendak dari pegawai negeri atau penyelenggara negara , bahkan sudah didahului dengan penolakan. Ini pernah dialami R. Soeprapto, mantan Jaksa Agung, yang ditawari hadiah oleh seseorang di kantornya. Tapi, ia langsung menolaknya.
Namun, orang tersebut justru datang ke rumah Soeprapto dan bertemu dengan anaknya. Diberilah anaknya itu dua gelang emas. Soeprapto marah ketika mengetahui anaknya menerima gratifikasi yang sejatinya ditujukan kepada dirinya sebagai penyelenggara negara. Soeprapto pun meminta anaknya untuk mengembalikan dua gelang emas tersebut.
Hoegeng Iman Santosa, mantan Kapolri, juga pernah dikirimi sepeda motor ke rumah yang ditujukan untuk anak laki-lakinya. Mengetahui hal tersebut, Hoegeng marah dan memerintahkan untuk mengembalikan hadiah motor tersebut. Ia paham sejatinya hadiah tersebut merupakan gratifikasi yang ditujukan ke dirinya secara tidak langsung.
Gratifikasi bisa menyasar kepada anggota keluarga pegawai negeri atau penyelenggara negara. Namun, tidak serta merta jika anggota keluarga menerima hadiah dari vendor atau masyarakat langsung dicap atau dituduh sebagai gratifikasi tidak langsung.
Sangat berbahaya sekali jika dipahami demikian.