Suatu hari Mery menelepon suaminya yang sedang berada di kantornya.
“Ada apa? tanya Hoegeng.
“Begini, Mas, ada tamu seorang China Makassar ke rumah. Ia meninggalkan banyak hadiah,” kata Mery.
“Apa ia meninggalkan alamat?”
“Ada, Mas!”
“Tunggu sampai saya pulang, saya kepengin tahu hadiah apa!”
Setiba di rumah, Hoegeng membuka sebuah peti besar dari kayu. Begitu dibuka, banyak perabotan seperti mesin cuci listrik, alat-alat elektronik, bahan-bahan pakaian mahal, dan banyak lainnya.
Peti itu pun ditutup kembali dan dikirimkan kembali ke pengirimnya. Hoegeng menceritakan bahwa ini ada kaitannya dengan wanita cantik keturunan China yang menjadi tersangka smokkel di Makassar. Sebelumnya, wanita itu berusaha mempengaruhi dirinya agar kasusnya dideponering. Menurut Hoegeng, wanita itu memiliki dan menggunakan relasi-relasinya di kepolisian, ketentaraan, dan kejaksaan.
Beberapa relasinya itu datang ke ruang kerja Hoegeng suatu hari. “Ia (wanita itu, red) sudah banyak membantu ‘tokoh penegak hukum’, antara lain juga dari kepolisian,” demikian alasan relasi yang datang kepada Hoegeng.
Namun, Hoegeng tak menolak mentah-mentah karena ada yang datang dikenalnya dengan baik. Hukum tetap ditegakkan.
“Yang saya tak habis mengerti, tak lama setelah hadiah itu dikembalikan, datang lagi sejumlah relasi si (wanita) cantik untuk meyakinkan saya. Bahwa, hadiah itu bukanlah suap melainkan tanda penghormatan kepada saya. Begitu mereka bilang,” cerita Hoegeng dalam Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan.
Hoegeng lalu menjelaskan kepada utusan wanita cantik itu. “Tak begini caranya. Saya tidak suka,” katanya. Jika ingin menghormati dirinya, maka, “You, sebaiknya tidak ikut campur dalam soal ini.” Perkara wanita ini akhirnya diteruskan ke pengadilan dan ia divonis vonis hukuman penjara.
Hoegeng mendengar kabar burung bahwa wanita itu pernah mengorbankan kecantikannya agar pejabat tertentu mau membantunya.
Hingga akhir hayatnya, Hoegeng tetap sebagai pribadi bersahaja. Uang pensiun sejak berhenti sebagai Kapolri pada 2 Oktober 1971 hingga 2001 sebesar Rp10.000 per bulan.
“Namun, Papi hanya menerima Rp7.500 karena potongan. Baru pada 2001, ada perubahan surat keputusan pensiun sehingga Pensiun Papi naik menjadi Rp1.170.000 per bulan,” ujar Didit dalam buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan (2013). Setelah Hoegeng meninggal, istrinya hanya menerima separuhnya.
Semasa pensiun, Hoegeng dan istri memenuhi kebutuhan ekonomi dengan melukis, mengisi siaran dialog di Elshinta, dan menyanyi bersama grup musik Hawaiian Seniors. Sejak terkena stroke pada 1990, ia mulai rajin bersepeda.
Ia sempat ditawari sebagai duta besar oleh Presiden Soeharto, tapi tawaran itu ditampiknya. Ia merasa tak cocok sebagai dubes. Di tengah hidup pas-pasan, Hoegeng juga sempat ditawari jabatan di sebuah maskapai penerbangan, tapi ditolaknya. Istri dan anak-anaknya memaklumi prinsip hidupnya itu dan mereka tidak tergiur oleh rekan-rekannya yang hidup mewah.
Uang sewa rumah dan pesan ayah
Sewaktu menjabat Kapolri, Hoegeng tak pernah mau menempati rumah dinasnya di Jalan Pattimura, Kebayoran Baru. Ia lebih memilih mengontrak rumah di Jalan M. Yamin (sekarang, Jalan Madura), Menteng, Jakarta Pusat.
Sebetulnya urusan uang sewa tak pernah ada masalah, tak pernah ada tunggakan. Masalahnya, sejak Hoegeng menjadi Kapolri, pemilik rumah tak mau lagi menerima pembayaran uang sewa rumah. Setiap suruhan Hoegeng memberikan uang sewa, justru si pemilik mengembalikannya.
Ia menceritakan hal itu kepada Soedharto Martopoespito, bekas sekretarisnya saat dirinya menjabat Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet periode Maret-Juli 1966. Dharto, begitu ia disapa, justru menjawab sambil berkelakar. “Ya, kebetulan toh pak. Pak Hoegeng tidak usah bayar saja,” katanya.
Dengan muka serius, Hoegeng membalas. “Eeh, jangan begitu dong Mas Dharto. Itu, tidak Hoegeng sukai. Bagaimana kalau suatu saat, dia meminta tolong Hoegeng karena ada masalah. Dan minta Hoegeng membantu menyelesaikan karena Hoegeng seorang Kapolri [...] Hoegeng bakal mengalami kesulitan dan tak bisa menolak. Itu, yang tidak boleh mas Dharto,” ujar Hoegeng dalam buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan.
Jauh hari, sewaktu masih di Medan dan Imigrasi, ia sadari betul bahwa menjadi pejabat apalagi pejabat penegak hukum, menghadapi banyak tantangan dan godaan.
Menurutnya, banyak pejabat yang kaya raya hanya karena tidak tahan godaan disuap dan kemudian membuat pleidoi, bahwa “Kekayaan itu didapatnya karena ‘persahabatan’, ‘diberikan cuma-cuma, sukarela’, dan semacam itu,” ujarnya.
Hoegeng–yang memiliki beberapa nama: Abdul Latif (pemberian peramal teman ayahnya), Hoegeng Iman Soedjono (pemberian neneknya), Hoegeng Iman Waskita (pemberian nenek buyutnya dari ibu), dan Hoegeng Iman Santosa (pemberian ayahnya dan resmi dipakai seterusnya)–meninggalkan banyak teladan, sebagai pribadi sederhana, idealis, teguh dalam pendirian, dan berani.
Ia juga bukan pejabat yang gampang ditekan dengan kattebelletje (surat atau nota pejabat alias surat sakti). Sewaktu diangkat sebagai Menteri Iuran Negara era Presiden Sukarno, ia dinasihati oleh dr J. Leimena, Waperdam (1957-1966), agar jangan suka menerima kattebelletje dari siapa pun karena berbahaya. Namun, sewaktu ada pembukaan lamaran kerja di Direktorat Bea Cukai, Leimena sendiri membuat kattebelletje kepada Hoegeng dan meminta si pembawa surat diterima kerja. Hoegeng pun menyurati Leimena. Menerima surat itu, esok harinya Leimena menelepon Hoegeng dan meminta maaf karena lupa.
Dalam autobiografinya, Hoegeng mengaku selalu mengingat pesan ayahnya, “Kita sudah kehilangan harta dan segala-galanya, Geng!” kata ayahnya kala itu. “Yang tinggal hanya nama baik. Itu saja yang perlu dipelihara!”[]