SULISTYANTO
Direktorat Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi
PEMBERANTASAN korupsi telah menjadi isu sentral dalam upaya memastikan tata kelola yang baik dan berkelanjutan dalam sektor sumber daya alam. Dalam konteks ini, penting untuk mengulas Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) yang dicanangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bagian dari upaya menyelamatkan aset alam yang tak ternilai.
Sektor sumber daya alam (SDA) mencakup beragam kekayaan alam seperti mineral, hutan, air, energi, dan lainnya. Isu terkait SDA memiliki daya tarik yang luar biasa, karena keterkaitannya dengan pembangunan ekonomi, lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, kompleksitas ini juga menjadikannya rentan terhadap praktik korupsi. Maka dari itu, GNPSDA hadir sebagai upaya menyelamatkan SDA dari ancaman korupsi, yang dapat merusak lingkungan, mengabaikan kepentingan rakyat, dan merugikan generasi mendatang.
Dalam membahas korupsi dalam bentuk isu SDA, penting untuk melihat bagaimana praktik korupsi dapat merusak tata kelola yang baik. Melalui GNPSDA, KPK telah melakukan upaya besar dalam mendeteksi, mengungkap, dan memberantas praktik korupsi yang terjadi dalam sektor ini.
Bentuk korupsi dalam konteks SDA dapat bervariasi, mulai dari penyuapan untuk mendapatkan izin eksploitasi hingga pemalsuan data untuk memperoleh keuntungan ilegal dari eksploitasi sumber daya alam.
KPK telah melaksanakan berbagai langkah, seperti pengawasan yang lebih ketat, penyelidikan mendalam, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi dalam sektor SDA.
Mengapa sumber daya alam?
Salah satu kekayaan alam Indonesia yang patut diperhatikan adalah hutan. Dengan luas kawasan hutan mencapai sekitar 125 juta hektare, hutan ini memiliki peran penting dalam perekonomian dan pengelolaan lahan. Meski luas hutan mungkin mengalami penurunan seiring berjalannya waktu, hal ini tetap berhubungan dengan perekonomian dan pembangunan.
Namun, keberagaman sumber daya dalam kawasan hutan tidak hanya terbatas pada jenis kayu. Saat ini, fokus juga tertuju pada sumber daya energi dan air, serta keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati ini seharusnya juga dianggap sebagai kekayaan nasional. Indonesia memiliki potensi kelautan yang sangat besar, dan ini merupakan masa depan bangsa. Di daratan, eksploitasi sumber daya alam sudah berlangsung intensif, dan masa depan seharusnya difokuskan pada pengelolaan laut yang berkelanjutan.
Dengan wilayah kepulauan terbesar di dunia, garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dan populasi yang bergantung pada sektor kelautan, potensi laut Indonesia tidak dapat diabaikan.
Namun, kekayaan ini juga menimbulkan sejumlah tantangan.
Pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan dengan bijak untuk mencegah eksploitasi berlebihan. Pengrusakan lingkungan, deforestasi, dan degradasi lahan harus diatasi dengan langkah-langkah yang berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya alam juga perlu mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat, menjaga hak-hak adat, serta menjaga kelestarian lingkungan bagi generasi mendatang.
Tata kelola SDA
Sektor Sumber Daya Alam (SDA) telah lama menjadi fokus perhatian akibat berbagai bentuk korupsi yang merugikan negara dan masyarakat. Melalui serangkaian kajian yang telah dilakukan, terungkap bahwa korupsi merajalela dalam berbagai aspek perizinan dan pengelolaan SDA.
Salah satu pendekatan yang digunakan adalah Metodologi Corruption Risk Assessment (CRA) untuk mengidentifikasi potensi risiko korupsi dalam 21 regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan. Hasil kajian menunjukkan bahwa dari 21 regulasi tersebut, 18 di antaranya rentan terhadap praktik korupsi. Dampaknya sangat terasa dalam bisnis perizinan, di mana proses mulai dari perencanaan hingga pengawasan ternyata rawan terhadap praktik suap.
Sebagai contoh, dalam industri perusahaan yang membutuhkan izin, setiap izin perusahaan dapat berpotensi menghabiskan jumlah suap yang signifikan, mencapai angka antara 600 juta hingga 22 miliar per tahun. Fenomena ini semakin diperburuk oleh praktik-praktik lain seperti membayar rekomendasi teknis di tingkat kabupaten dan provinsi.
Pada 2015 menjadi tonggak penting dengan dilakukannya analisis data citra oleh seorang senior researcher. Data citra dari tahun 2003 hingga 2014 mengungkapkan pola deforestasi yang mengkhawatirkan, dengan perbedaan yang mencolok antara data citra dan data statistik produksi kayu yang dilaporkan ke lembaga kehutanan. Selisih produksi yang luar biasa ini mencapai 70 persen hingga 80 persen.
Kerugian akibat korupsi dalam sektor SDA tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga lingkungan. Potensi kerugian dari penerbangan kayu ilegal dan produksi kayu yang tidak dilaporkan diperkirakan mencapai 5 hingga 7 triliun per tahun. Selain itu, sektor tambang batubara juga tidak luput dari sorotan. Koordinasi dan supervisi yang dilakukan pada 2014 mengungkapkan potensi penerimaan negara sebesar Rp28,5 triliun yang terhambat oleh buruknya sistem perizinan dan penyalahgunaan.
Sifat alami SDA yang sulit dikontrol semakin memperparah situasi. Izin-izin tambang ilegal tumbuh subur karena karakteristik SDA yang sulit dijaga dari pemanfaatan yang tidak sah. Bahkan dalam sektor seperti nikel, penyalahgunaan terjadi secara masif karena minimnya pengawasan terhadap sumber daya ini.
Laut juga menjadi sasaran praktik korupsi. Penurunan jumlah GT kapal menjadi indikasi adanya praktik menghindari kewajiban pajak dan PNBP, bahkan memanfaatkan subsidi BBM secara tidak benar.
Demikian pula, sektor sawit menghadapi persoalan serius dalam hal tumpang tindih izin. Overlay antara izin hak guna usaha (HGU) dan izin-izin berbasis lahan lain, seperti tambang, menunjukkan adanya tumpang tindih sekitar 3 juta hektare. Situasi serupa juga terlihat pada izin hutan tanaman industri (HTI), dengan tumpang tindih mencapai sekitar 534.000 hektar are. Terakhir, izin perkebunan kelapa sawit (HP) dan izin kubah gambut juga menghadapi persoalan serupa, di mana tumpang tindih mencapai 801 ribu hektare.
Korupsi dalam sektor SDA mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan bagi negara, merusak lingkungan, dan menciptakan ketidaksetaraan dalam pemanfaatan sumber daya. Langkah-langkah tegas dan efektif harus diambil untuk mengatasi masalah ini, termasuk peningkatan pengawasan, reformasi perizinan, dan pemberantasan praktik korupsi secara menyeluruh.
Korupsi sumber daya alam
Sejak berdirinya KPK, sektor SDA telah menjadi salah satu fokus utama dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada 2009, KPK mulai menargetkan sektor ini sebagai prioritasnya, dan hingga saat ini, upaya ini tetap menjadi bagian penting dalam agenda pemberantasan korupsi.
Rentang waktu yang dimulai dari 2014 memiliki peranan penting dalam pemberantasan korupsi di sektor SDA. Pada tahun ini, dilakukan penandatanganan deklarasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam sebagai langkah pembelajaran yang berharga. Sebelumnya, pendekatan yang digunakan cenderung parsial, seperti dalam kajian kehutanan yang terfokus pada bidang Planologi. Padahal, kawasan SDA pada umumnya melibatkan sektor lain seperti izin pertambangan dan izin perkebunan sawit.
Namun, semakin kompleksnya isu korupsi di sektor ini, pendekatan yang lebih holistik diperlukan. Pada 2013, muncul kebijakan penting yaitu Nota Kesepakatan Bersama (NKB), melibatkan 12 Kementerian dan lembaga dengan fokus kawasan hutan. Langkah ini diambil untuk memastikan kepastian hukum terkait kawasan hutan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi koordinasi antar Kementerian. Dengan merapikan kawasan hutan, diharapkan juga izin-izin berbasis lahan lainnya dapat diselesaikan.
Pada 2014 menjadi titik penting dalam kolaborasi antar sektor terkait SDA. Koordinasi Supervisi Minerba dibentuk, membawa struktur yang lebih terkoordinasi dalam pemberantasan korupsi. Sementara pada tahun sebelumnya fokusnya lebih pada koordinasi horizontal, pada 2014 melibatkan elemen vertikal seperti pemerintah daerah. Mengingat pada saat itu, banyak kewenangan terkait izin dan pengendalian ada di tingkat pemerintah daerah. Banyak izin usaha pertambangan (IUP) dicabut karena tidak memenuhi persyaratan Clean and Clear.
Selain itu, pada 2014, terjadi kolaborasi yang signifikan antara Kementerian Kehutanan dan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam pertukaran data. Data ini memperlihatkan seberapa besar kawasan konservasi yang seharusnya dilindungi. Dengan data ini, Kementerian Planologi dapat mengirim surat kepada pemerintah daerah untuk melakukan pencabutan izin yang tidak sesuai dengan kewenangan. Langkah ini mengakibatkan pencabutan sejumlah besar izin yang tidak sah.
Pada 2015, upaya kolaborasi semakin meluas. Empat sektor utama yaitu kehutanan, pertambangan, kelautan, perikanan, dan perkebunan sawit menjadi fokus. Melibatkan 27 kementerian dan lembaga, deklarasi ini ditandatangani di hadapan Presiden Joko Widodo. Deklarasi APGAKUM (Aparat Penegak Hukum) menandakan keterlibatan penting unsur-unsur kunci dalam penanganan korupsi di sektor SDA.
Pentingnya upaya ini terkait dengan banyaknya oknum yang terlibat dalam izin-izin ilegal dan praktik korupsi. Melalui kolaborasi dan deklarasi ini, diharapkan pemberantasan korupsi dapat diperkuat, sehingga SDA yang berharga dapat dijaga dan dilestarikan dengan lebih efektif. Keseluruhan proses ini menunjukkan komitmen KPK dalam mengatasi masalah korupsi yang melibatkan Sumber Daya Alam sebagai bagian integral dari pembangunan berkelanjutan Indonesia.
Pembelajaran korupsi sumber daya alam
Dari segala informasi yang telah disajikan, terdapat pembelajaran untuk menangani korupsi dari sektor SDA. Ada tiga hal yang tampaknya relevan dalam karakteristik korupsi terkait SDA. Pertama, korupsi ini berhubungan dengan jaringan yang kompleks, melibatkan banyak aktor dalam lapisan yang berbeda. Aliran uangnya pun tidak hanya terbatas pada transaksi pertama, melainkan merambah hingga ke tahap akhir.
Satu aspek yang menarik adalah rekomendasi dari studi Backer yang menyoroti perlunya memerangi korupsi dengan fokus pada jaringannya. Bukannya hanya mengejar individu-individu pelaku, tetapi juga mengidentifikasi dan memahami bagaimana mereka terhubung dalam jaringan korupsi yang lebih besar.
Dalam konteks ini, kasus seperti
Azmun Ja'far dan
Rosman menunjukkan pentingnya memahami peran individu dalam jaringan komunikasi antar aktor. Meski mungkin belum ada informasi yang memadai pada awalnya, informasi lebih lanjut bisa mendorong pengejaran terhadap aktor-aktor penting ini.
Ketika menangani aktor-aktor yang relatif kecil seperti notaris, middleman atau pejabat dinas, penting untuk tidak hanya fokus pada penangkapan saat Operasi Tangkap Tangan (OTT). Mereka mungkin lolos dari penuntutan pada tahap awal, tetapi jika mereka tidak diidentifikasi sebagai bagian dari jaringan yang lebih besar, mereka dapat kembali melakukan tindakan korupsi di kemudian hari.
Di sisi lain, terdapat tantangan dalam menghadapi kasus korupsi terkait izin di sektor SDA. Meskipun kerugian lingkungan bisa dihitung, mengaitkannya dengan kerugian negara dan membuktikannya di hadapan pengadilan bisa sulit. Salah satu langkah adalah mengembangkan model penghitungan kerugian lingkungan yang lebih solid dan memastikan bahwa korupsi ini menghasilkan konsekuensi hukum yang tepat.
Revisi Undang-Undang Partai Politik juga bisa menjadi bagian solusi.
Mengatur pendanaan partai dengan lebih transparan dapat membantu mengurangi risiko konflik kepentingan dan pengaruh kelompok tertentu dalam pembentukan kebijakan. Lebih lanjut lagi, langkah-langkah dari Korea dalam mengawasi proses legislasi bisa menjadi inspirasi.
Kesimpulannya, perang melawan korupsi terkait SDA memerlukan pendekatan yang melihat melampaui individu-individu pelaku. Pemahaman yang lebih mendalam tentang jaringan korupsi, perlunya mengidentifikasi aktor-aktor penting, dan mendorong transparansi dalam pembentukan kebijakan merupakan elemen krusial dalam upaya ini.[]
Materi ini telah disampaikan penulis saat menjadi narasumber dalam ACKNOW 2023, Jumat (23 Juni 2023).