Jawaban atas pertanyaan itu adalah menurunnya kepercayaan publik (public trust). Jika kepercayaan publik ini hilang atau tidak lagi ada yang menaruh harapan kepada lembaga antikorupsi, bisa dipastikan organisasi itu bubar.
Menurunnya kepercayaan publik dipengaruhi oleh dua hal yaitu integritas dan kompetensi. Oleh karenanya, sebuah organisasi penting menjaga integritas dan menambah wawasan serta terbuka dengan perubahan yang bergerak cepat. Saya boleh bilang pelayanan publik itu berubah cepat, aturan lama diganti dengan kebijakan baru—fenomena ini boleh dibilang sangat cepat menyesuaikan kebutuhan publik.
Untuk itu, penting bagi setiap individu harus selalu bisa menangkap terhadap informasi-informasi baru, terus belajar dan belajar terhadap hal-hal baru. Terkadang sebagai orang hukum, kita terlalu fokus untuk mempelajari undang-undang, peraturan pemerintah, dan turunannya.
Sekali lagi: ini era digitalisasi.
Sebagai orang yang dibesarkan era lama, memang terasa berat harus beradaptasi dengan digitalisasi. Saya yang sering bingung menyalakan AC, tiba-tiba disuruh berbicara tentang digital, tapi ini memang harus terus dipelajari, harus belajar.
Ketika saya ditempatkan di Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK), sebelumnya di Sosialisasi dan Kampanye, saya harus banyak berpikir, “garuk-garuk kepala”. Perubahan kerja drastis ini membuat saya banyak minum kopi, saya juga mengalami kondisi stres yang akhirnya berpengaruh pada obesitas.
Mengenal Stranas PK
Sebelum kepada soal topik digitalisasi dan aksi Stranas PK, saya akan jelaskan terlebih dulu menyangkut sejarah Stranas PK. Tak sedikit orang masih bingung dengan posisi Stranas PK. Apa bedanya dengan KPK itu sendiri? Sebenarnya keduanya tidaklah terlalu berbeda, tidak berlawanan satu sama lain.
Mari kita kembali ke tahun 2003. Kala itu muncul konvensi internasional yaitu United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Kemunculan ini karena perjuangan reformasi dari berbagai negara di dunia lantaran maraknya korupsi, termasuk salah satunya dipicu oleh kasus korupsi yang dilakukan presiden Korea Selatan kala itu. Karena mengalami keresahan-keresahan yang sama soal korupsi itu, negara-negara di dunia bersepakat untuk memberantas korupsi. Akhirnya, bikinlah UNCAC 2003.
Kesepakatan itu akhirnya diadopsi oleh Indonesia. Pemerintah kala itu menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2023. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa semua negara peserta konvensi wajib menyusun strategi nasional pemberantasan korupsi.
Selanjutnya oleh Bappenas, kebijakan itu dijabarkan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK). Kendali atas kegiatan dari RAN PK ini dipegang oleh Bappenas dan rutin dilaporkan kepada Persatuan Bangsa-Bangsa.
Hingga 2017, implementasi kegiatan masih dipegang oleh Bappenas berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014.
Dalam perjalanannya, beleid tersebut harus dibahas ulang karena ada hal-hal yang perlu disesuaikan. Dalam pemberantasan korupsi, ada sisi pencegahan dan sisi penindakan. Soal penindakan inilah yang tidak bisa dikontrol oleh Stranas PK, sehingga pemerintah kala itu memutuskan untuk lebih fokus pada sisi pencegahan. Terbitlah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Nama pun berubah menjadi Stranas PK.
Dalam aturan baru itu, strategi rencana aksi berubah dari pemberantasan menjadi pencegahan korupsi. Lalu, adakah perbedaan dengan fungsi pencegahan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 atau UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK? Dalam hal ini, fungsi-fungsi pencegahan tidak ada yang berubah, hanya yang membedakan, yaitu terutama saat menindaklanjuti dari rekomendasi kajian dari Direktorat Monitoring–dulu Direktorat Litbang.
Saya tiga belas tahun berada di Direktorat Litbang ini. Pada saat menyusun rekomendasi, misal tentang BPJS. Di sini, pihak yang terkait yang diajak kerja sama ternyata tidak hanya BPJS dan Kementerian Kesehatan, tapi juga berurusan dengan pemerintah daerah, dengan perizinan, dengan pengadaan (LKPP), dan banyak lagi. Di sinilah, banyak keterbatasan yang dihadapi oleh Stranas PK. Tantangan-tantangan inilah yang kemudian diupayakan melalui Stranas PK ini agar dicari solusinya. Jadi, yang dilakukan Stranas PK ini sebenarnya sumbernya dari KPK, dari kajian-kajian Litbang.
Jika persoalan sudah menyangkut antarlembaga, bersifat masif, atau menyentuh banyak kementerian/lembaga, maka diserahkan kepada Stranas PK. Pada 2019 hingga 2020, misalnya, Stranas PK melakukan 27 aksi. Pada periode berikutnya, 2021-2022, kami melakukan sejumlah koreksi dan melakukan 12+2 aksi. Lanjut saat ini, periode 2023-2024, kami menjalankan 14 aksi.