SARABI berpikir cepat ketika dirinya bersama Mufasa dan Taka terancam dari kejaran para singa putih yang dipimpin Kiros.
Singa betina muda itu berlari kencang menuju pohon, melewati sela-sela kawanan gajah, yang sedang migrasi. Yang dituju adalah sarang-tawon besar. Sarang dijatuhkan, tawon berhamburan.
Anak buah Kiros pun kesulitan mengejar Mufasa dkk karena gajah-gajah lari lintang pukang oleh gangguan tawon-tawon ganas.
Di tengah hiruk pikuk itu, Sarabi yang masih bergelantungan di pohon terjatuh. Tapi, upayanya keluar dari kerumunan hewan-hewan besar itu gagal. Tubuhnya terpelanting oleh kaki gajah dan pingsan. Melihat itu, Mufasa, dengan gagah berani, menerjang ke tengah demi menyelamatkan Sarabi. Ia menggeret dan melindunginya dari injakan kawanan gajah.
“Aku menjagamu,” berkali-kali Mufasa mengatakan itu kepada Sarabi yang pingsan.
Itulah nukilan dalam adegan film animasi Mufasa: The Lion Ling, sebuah prekuel The Lion King (1994, remake 2019), yang baru dirilis pada 20 Desember 2024.
Sebagai fabel, film ini tidak sekadar bercerita tentang singa, alam, dan kelucuan sekelompok binatang. Namun, Mufasa menggambarkan tentang harmonisasi kehidupan—mereka menyebutnya “Lingkaran Kehidupan” (Circle of Life)—tak terkecuali, nilai-nilai keluarga tentang orangtua mendidik anak-anaknya.
Dalam kisah sebelum Mufasa sebagai Raja Tanah Kebahagiaan (Pride Lands) itu, banyak alegori yang bisa kita petik untuk diri sendiri dan diajarkan kepada anak-anak. Karena begitulah fungsi fabel, medium pendidikan moral dan budi pekerti.
Kehidupan Mufasa digambarkan sejak kecil hingga dewasa sebagai singa pemberani, bijak, insting tinggi, berpengetahuan luas, tanggung jawab, dan peduli.
Nilai-nilai itu selaras dengan “9 Nilai Integritas” KPK yang dikenal “Jumat Bersepeda KK”—jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras.
Oleh karenanya, film ini rasanya cocok sekali dimanfaatkan oleh #KawanAksi untuk mengajarkan tentang nilai-nilai keberanian, kejujuran, tanggung jawab, peduli, dan kerja keras.
Secara keseluruhan, cerita Mufasa sarat dengan kekuatan dan keberanian. Bila direfleksikan ke diri manusia, dalam kondisi apa pun, kita harus tetap tegar dan berani, tidak mudah menyerah—kuat menghadapi godaan dan ancaman.
Untuk terus hidup, kita juga harus kerja keras dengan tetap berharap/bermimpi dan berdoa kepada Tuhan. Meminjam kata-kata Rafiki, seekor mandrill dalam film itu, adanya keraguan yang bersemayam diri kita karena, “kamu tidak tahu tujuannya ke mana”.
Film ini juga memperlihatkan bahwa antarsesama di kehidupan atau komunitas terkecil harus ada rasa peduli tinggi. Demi lestarinya kehidupan bersama, perlunya saling menjaga, saling berbagi, bersimpati, dan memiliki empati.
Ditilik dari segi kepemimpinan, Mufasa juga memberikan metafora bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki keberanian dalam mengambil keputusan, memikirkan dan membela rakyatnya, peduli, menjaga keamanan, dan memiliki rasa tanggung jawab besar—rela berkorban untuk masyarakat yang dipimpinnya.
Namun, “struktur kepemimpinan” yang diperlihatkan The Lion King tidaklah cocok dengan alam demokrasi modern saat ini. Karena kepemimpinan Mufasa didasarkan pada garis keturunan dan superioritas biologis—yang kuatlah yang berkuasa. Kekuasaan atas dasar keluarga atau keturunan—feodalisme—cenderung melanggengkan perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Otoritas Mufasa hampir tidak ada kritik dan tidak dipertanyakan, tapi digambarkan menguatkan keberlanjutan di singgasana “Pride Rock”. Itu terlihat jelas dalam nasihat-nasihatnya kepada Simba, anaknya, untuk meneruskan kedudukan sebagai raja. Atau, gambar ikonik Mufasa berdiri di Pride Rock, lalu hewan-hewan lain di bawahnya menyanjung dan menundukkan kepala. "Lihat, Simba. Semua yang disentuh cahaya adalah kerajaan kita,” begitu katanya kepada Simba.
Terlepas dari itu, film ini tetap memberikan hikmah tentang nilai-nilai solidaritas, kerukunan, saling peduli, kesetiakawanan, dan bersatu, serta musyawarah. Juga, kita diperlihatkan sisi buruk dari perilaku pengkhianatan, pengecut, penindasan, dan balas dendam.
Fabel KPK
Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK juga telah banyak menerbitkan buku-buku fabel, dongeng anak, dan komik yang berisi pesan-pesan keteladanan dan integritas.
Sebut saja, buku “Serial Kumbi”, “Seri Tunas Integritas: Ya Ampun!”, “Seri Tunas Integritas: Ini? Itu?”, “Seri Cergam”, “Dongeng Kakek Tulus”, Serial Sahabat Pemberani,” dan lain-lain.
Baca:Adapun serial komik ada buku “Museum Koruptor”. Buku ini mengangkat tema pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia, dilengkapi ilustrasi menarik sebagai bentuk kepedulian komunitas komikus terhadap isu korupsi. Pesannya, jelas, koruptor layak dikenang sebagai pelajaran melalui "museum koruptor."
Melalui komik itu, generasi mendatang bisa memahami pahitnya dampak korupsi, sekaligus menyadari ironi perilaku koruptor yang sering kali tanpa malu tertawa meski telah merampas hak rakyat. Hal ini mencerminkan kerusakan moral dan mental yang serius.
Komik yang lebih serius lagi berjudul “Dampak Sosial Korupsi”. Komik edisi ini menggambarkan dampak korupsi di sebuah negara, seperti kemiskinan, kejahatan, pengangguran, dan infrastruktur buruk. Disajikan dengan ilustrasi menarik, komik bertujuan menyadarkan pembaca bahwa korupsi membawa kerugian besar bagi masyarakat.
Penasaran dengan buku-buku antikorupsi? Yuk, baca
di sini. []