DALAM dunia hukum, misal, kasus tindak pidana, kita sering mendengar berbagai istilah yang merujuk pada pelaku.
Mungkin #KawanAksi pernah bertanya-tanya, mengapa pelaku kejahatan yang sama dapat disebut dengan istilah berbeda pada waktu yang berbeda?
Misalnya, seseorang yang disebut "tersangka" hari ini, bisa berubah menjadi "terdakwa" setelah beberapa waktu.
Perubahan istilah ini ternyata memiliki makna hukum yang berbeda. Mari kita bahas lebih lanjut perbedaan dari setiap istilah tersebut!
Terlapor
Dalam konteks hukum Indonesia, istilah "terlapor" sebetulnya tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Dalam UU tersebut hanya dijelaskan tentang istilah “laporan” pada Pasal 1 angka 24 yang diartikan sebagai pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
Namun, dalam praktiknya aparat hukum seringkali menggunakan istilah ini ketika ada seseorang melaporkan dugaan peristiwa pidana; media massa yang mengutipnya kian memperluas istilah tersebut.
Dalam penanganan laporan oleh aparat penegak hukum, terlapor masih dianggap sebagai subjek yang dilaporkan dan belum tentu bersalah sampai adanya perkembangan lebih lanjut dalam proses penyidikan. Setelah ditemukan cukup bukti, status terlapor bisa meningkat menjadi tersangka dan selanjutnya, jika terbukti bersalah melalui proses peradilan, menjadi terdakwa.
Namun, pelapor juga bisa digugat balik atas nama pencemaran nama baik oleh terlapor jika laporan tersebut tidak terbukti atau bersifat palsu/fitnah.
Jadi, hati-hati dalam membuat sebuah pelaporan hukum. Alih-alih mengungkap kebenaran, justru #KawanAksi bisa dilaporkan balik oleh terlapor.
Dalam konteks tindak pidana korupsi, pelaporan pun telah diatur secara lengkap. Selengkapnya
baca di sini.
Tersangka
Berdasarkan Pasal 1 angka 14 KUHAP, “tersangka” didefinisikan sebagai seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang cukup, patut diduga melakukan tindak pidana.
Unsur bukti permulaan yang cukup artinya bukti ini bisa berupa dua alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, atau keterangan terdakwa.
Jadi, jika selama penyelidikan terhadap suatu kasus, ternyata penyelidiki menemukan bukti permulaan cukup atas terlapor, maka status terlapor bisa berubah sebagai tersangka.
Penetapan status tersangka memiliki dampak besar terhadap kehidupan seseorang dan prosedurnya harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Tidak semua tersangka berawal dari terlapor; orang yang tertangkap tangan (OTT) dalam kasus korupsi, misalnya, dapat langsung ditetapkan sebagai tersangka.
Setelah berstatus tersangka, seseorang tidak serta-merta langsung ditangkap. Namun, menurut Pasal 19 Ayat 2 KUHAP, penangkapan dapat dilakukan jika tersangka mangkir dari panggilan resmi dua kali berturut-turut tanpa alasan jelas. Selain itu, penahanan dapat dilakukan jika ada kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 Ayat 1 KUHAP).
Status tersangka juga mempengaruhi hak dan kewajiban sesorang, misal, diberhentikan dari jabatannya meski sifatnya sementara. Pasal 33 Ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa jika seorang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ditetapkan sebagai tersangka dalam suatu tindak pidana, ia akan diberhentikan sementara dari jabatannya.
Di sisi lain, Pasal 10 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2003 mengatur bahwa seorang anggota kepolisian yang menjadi tersangka atau terdakwa dapat dikenakan pemberhentian sementara dari dinas kepolisian, mulai dari tahap penyidikan hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Sementara itu, seorang tersangka memiliki hak untuk mengajukan permohonan praperadilan. Sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014, penetapan status tersangka menjadi bagian dari objek yang bisa diajukan ke praperadilan. Hakim praperadilan berwenang untuk memutuskan apakah penetapan tersangka terhadap seseorang sah secara hukum atau tidak.
Terdakwa
Setelah mendapatkan tambahan bukti, seorang tersangka bisa ditingkatkan statusnya menjadi terdakwa dan perkaranya mulai disidangkan di pengadilan.
Terdakwa adalah tersangka yang telah dituntut, diperiksa, dan diadili di pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 KUHAP.
Selama proses persidangan, terdakwa memiliki sejumlah hak yang harus dijamin sebagaimana diatur Bab VI Pasal 50-68, di antaranya mengetahui secara lengkap tuduhan yang dikenakan, mendapatkan bantuan hukum, mendapatkan ganti rugi jika terjadi perpanjangan penahanan yang tidak sah, dan mengajukan banding atau peninjauan kembali.
Terpidana
Terpidana adalah seseorang yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap, sesuai dengan Pasal 1 angka 32 KUHAP. Terpidana masih memiliki hak-hak yang sama dengan terdakwa, termasuk hak untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) jika ditemukan bukti baru yang dapat meringankan atau membebaskannya.
Dasar pengajuan PK ini diatur dalam Pasal 263 KUHAP, di mana permohonan dapat didasarkan pada penemuan bukti baru, perbedaan putusan dalam perkara yang sama, atau adanya kesalahan hakim. Hasil PK dapat meringankan atau memberatkan hukuman, tergantung pada bukti yang disajikan.
Walau seorang terpidana adalah pelaku tindak pidana, hukum di Indonesia tetap menghormati hak-haknya sebagai manusia. Pelaku korupsi, misalnya, tetap dilindungi hak-haknya selama menjalani proses hukum.
Namun, hukuman yang dijatuhkan harus memiliki efek jera agar tindak pidana serupa tidak terulang.
Dengan memahami istilah-istilah ini, kita dapat lebih tepat dalam mengidentifikasi peran seseorang dalam suatu kasus hukum.
Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang tindak pidana korupsi, perilaku koruptif, atau nilai-nilai integritas, #KawanAksi bisa mengunjungi pustaka ACLC KPK atau membaca artikel-artikel lainnya. [*/ai]