SEKTOR kesehatan selama lima tahun terakhir mendapatkan porsi anggaran yang begitu tinggi.
Di situsweb Kementerian Kesehatan
disebutkan, pemerintah mengalokasikan besaran anggaran pada 2020 sebesar Rp 119,9 triliun, lalu naik menjadi Rp 124,4 triliun pada 2021, meningkat pada 2022 menjadi Rp 134,8 triliun dan Rp 172,5 triliun pada 2023.
Terakhir, pada tahun 2024, pemerintah dan DPR menyepakati Rp 186,4 triliun (5,6 persen dari APBN).
Jumlah alokasi tersebut belum termasuk alokasi anggaran di daerah. Sejak tahun lalu, untuk penguatan sistem kesehatan di daerah, Kemenkes bersama Kementerian Dalam Negeri mewajibkan 514 kabupaten/kota di 34 provinsi mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 10 persen dari APBD.
“Besarnya anggaran kesehatan ... di masing-masing pemerintah daerah, memiliki kerawanan korupsi jika tidak dikelola dengan baik,” ujar Nawawi Pomolango, pimpinan KPK. (Detik.com, 7 Oktober 2022).
Sudah ratusan kasus korupsi sektor kesehatan ditangani penegak hukum. Nawawi
menyebutkan perkara korupsi sektor kesehatan telah merugikan negara hingga Rp 821,21 miliar yang melibatkan 176 pelaku.
Catatan Indonesia Corruption Watch berdasarkan pemberitaan kasus korupsi sejak 2010 hingga semester pertama 2018 terdapat 220 kasus korupsi dengan 538 tersangka. Rata-rata kasus ini bisa menimbulkan kerugian negara sebesar Rp3,7 miliar.
Celah yang dimanfaatkan
Melihat kasus-kasus yang terjadi, obyek korupsi yang banyak terjadi adalah sektor pengadaan alat kesehatan (alkes).
Adapun obyek lain yang menjadi bancakan koruptor, seperti dana jaminan kesehatan, infrastruktur rumah sakit, dana obat-obatan, infrastruktur puskesmas/rumah sakit, dana alat kontrasepsi, dana operasional rumah sakit, dan pengadaan lahan rumah sakit.
Modus yang sering dilakukan koruptor adalah penggelembungan anggaran (mark up), lalu penyalahgunaan anggaran, penggelapan, penyalahgunaan wewenang, kegiatan fiktif, pemotongan/penyunatan dana, suap/gratifikasi, dan pemerasan.
Menurut ICW, selama periode 2010-2015, tren kasus korupsi sektor kesehatan didominasi pada pengadaan alkes. Faktor pendorong bagi mereka yang korupsi di sektor ini, di antaranya (1) buruknya tata kelola anggaran, (2) alkes memiliki banyak substitusi sehingga perbedaan harga seringkali dimanfaatkan sebagai peluang korupsi (mencari keuntungan dari selisih harga),
Lalu, (3) lemahnya pengawasan, (4) ketidakseimbangan informasi antara pasien dengan pemberi layanan kesehatan, (5) mengakali tender, dan (6) membeli obat mendekati masa kadaluwarsa.
Sementara itu, berdasarkan temuan KPK dalam
Survei Penilaian Integritas, sejumlah korupsi di sektor kesehatan terjadi yaitu menyangkut gratifikasi mutasi pegawai, penyalahgunaan anggaran honor, pengadaan barang dan jasa, dan operasional standar pelayanan yang tidak transparan.
Dalam banyak kasus, dikutip dalam
Jurnal Integritas, Hanevi Djasri, Puti Aulia Rahma, dan Eva TH yang meneliti korupsi dalam pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional menyebutkan,
fraud di layanan kesehatan (yankes) terjadi karena (1) tenaga medis bergaji rendah dan (2) adanya ketidakseimbangan antara sistem yankes dan beban layanan.
Selanjutnya, (3) penyedia layanan tidak memberi insentif yang memadai, (4) kekurangan pasokan peralatan medis, (5) inefisiensi dalam sistem, (6) kurangnya transparansi dalam fasilitas kesehatan, dan (7) faktor budaya.
Mereka yang terlibat korupsi di sektor kesehatan sangat kompleks mulai pembuat kebijakan hingga unit penyedia layanan, seperti rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas); mulai pegawai bawah, bupati/wali kota, hingga menteri.
Sebut saja, kepala daerah yang terkena kasus korupsi sektor kesehatan, seperti Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Wali Kota Tegal Siti Mashita, dan Gubernur Banten Atut Chosiyah, sedangkan dua menteri kesehatan yang erjerat korupsi yaitu Achmad Suyudi dan Siti Fadilah Supari.
Sama halnya dengan kasus korupsi lainnya, korupsi di sektor kesehatan juga menimbulkan beberapa dampak. Secara umum, korupsi pada sektor kesehatan berpotensi menimbulkan kerugian finansial pada negara.
Namun, praktik korupsi penyalahgunaan wewenang, misalnya, juga bisa berdampak pada mengurangi sumber daya, menurunkan kualitas, biaya membengkak, rendahnya keadilan dan efisiensi. Bahkan, korupsi kesehatan secara langsung bisa mengancam nyawa masyarakat.
Di Indonesia, dikutip dalam laporan Hanevi dkk, fraud di sektor kesehatan berpotensi juga bisa memperparah ketimpangan geografis, terutama di daerah yang fasilitas kesehatan maupun tenaga medisnya belum terfasilitasi dengan baik.
Implementasi cegah korupsi di sektor kesehatan
Berikut ini beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah praktik korupsi di sektor kesehatan:
Membangun kesadaran
Perlu membangun kesadaran terkait dengan bahaya korupsi di sektor kesehatan. Pembangunan kesadaran ini bisa dilakukan oleh pemda dengan melakukan pembinaan dan pengawasan melalui program-program edukasi dan sosialisasi.
Hindari konflik kepentingan
Mengacu pada Permenkes No. 1 Tahun 2022, konflik kepentingan diartikan kondisi saat pegawai Kemenkes memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok atas setiap penggunaan wewenang yang dimiliki. Kondisi ini mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya. Maka dari itu, hindarilah konflik kepentingan supaya tidak tergiur melakukan tindakan yang mengarah pada korupsi.
Tolak suap/gratifikasi
Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Permenkes No. 1 Tahun 2022 dianggap pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya pegawai Kemenkes atau penyelenggara negara, karena itulah wajib menolak gratifikasi dalam bentuk apapun.
Apabila mengetahui ada yang melakukan korupsi di fasilitas kesehatan bisa langsung melaporkannya ke KPK Whistleblower’s System (KWS). Pelaporan bisa mengunjungi situsweb KPK: www.kpk.go.id, lalu pilih menu KPK Whistleblower’s System atau langsung mengakses http://kws.kpk.go.id.
Yuk, lawan korupsi bersama ACLC KPK! [*]