Berdasarkan survei KPK tersebut, sejumlah risiko korupsi tinggi di Kemenkes mencakup pengadaan barang dan jasa, penyalahgunaan anggaran honor, penggunaan fasilitas kantor untuk pribadi, nepotisme, gratifikasi dalam mutasi pegawai, dan operasional standar pelayanan yang tidak transparan.
"Berarti ada yang salah nih. Ada dari kita yang belum komitmen, seperti masih memanfaatkan uang APBN untuk menambah take home pay kita atau fasilitas kantor dipakai untuk sehari-hari," ujarnya.
Sementara itu, risiko korupsi tingkat sedang yang masih dijumpai di Kemenkes, seperti pengaruh kekerabatan dalam mutasi, penyalahgunaan anggaran perjalanan dinas, menerima imbalan, perilaku istimewa dalam pelayanan, dan suap/pungli/konflik kepentingan.
Adapun beberapa temuan risiko korupsi level rendah, antara lain pelapor korupsi direspon negatif, atasan memerintahkan untuk melanggar/melihat korupsi, tapi tak diungkapkan, dan pemberian/permintaan di luar ketentuan.
Murti juga mengingatkan agar pejabat Kemenkes melaporkan harta dan kekayaan yang dimiliki kepada KPK. Selama lima tahun di Inspektorat Jenderal, dirinya mengaku gregetan karena pejabat eselon satu dan eselon dua harus "diopyak-opyak" (diingatkan terus-menerus) untuk membuat Laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
"Seharusnya sebagai pejabat negara tidak perlu diopyak-opyak, diingetin-ingetin, begitu tahu tanggal 31 Desember, kira harus mulai mengumpulkan bahan-bahan, paling tidak pekan pertama Januari sudah melaporkan LHKPN," tuturnya.
"Ini adalah kewajiban saudara sebagai pejabat negara untuk melaporkannya."
Dalam kurikulum yang telah disusun, pelatihan dilaksanakan sebanyak 29 jam pelajaran. Pada hari pertama, peserta mendapatkan materi berupa building learning commitment, internalisasi integritas, dan godaan integritas. Lalu, hari kedua peserta mendapatkan materi tentang delik tindak pidana korupsi dan dilema integritas. Dan, hari terakhir, pelatihan akan membahas penilaian risiko korupsi dan strategi aktualisasi dan diseminasi integritas.[]